Wednesday, March 23, 2011

Kekasih Gelap Ayah

Goedemorgen,

Ayah, 
Apa engkau lembur hari ini?
Aku harap tidak.
Ini hari sabtu,
Sepatutnya engkau membaca koran di teras bersama segelas teh tawar kesukaanmu,

Ayah,
Apa engkau lembur hari ini?
Aku harap tidak.
Ini hari sabtu,
Sudah seharusnya engkau berlari di pukul 5 pagi dan bersiul dengan burung beo kesayanganmu,

Ayah,
Ingin sekali aku pulang,
Mendengarkan siulan khasmu,
Saat engkau pulang dari mengumpulkan peluh menjadi uang,
Mendengarkan celoteh kekecewaanmu,
Saat mendengar berita pemerintahan yang selalu kacau di matamu,

Ayah,
Ingin sekali aku mengulang,
Saat aku kecil engkau memangkuku,
Mengapit tubuhku yang mungil diantara kedua kakimu yang kekar,
Mengajariku berdoa dengan cara berdoamu yang berbeda,
Menunduk. Memejamkan mata. Mengepalkan kedua tangan. Hening.
Ini yang dinamakan syahdu.

Ayah,
Aku jatuh cinta padamu,
Seandainya aku dapat pulang kembali,
Ke rumah mungil kita itu,
Hasil jerih payahmu menghadapi atasanmu, seorang kompeni gila itu,
Kita jalan-jalan saja,
Lepaskan penatmu dari Kota Jahanam itu.
Aku ingin menghiburmu,
Seperti dahulu engkau menghiburku saat aku dimarahi ibu,
Kata-katamu manis,
Meski engkau terkesan acuh,
Ah, lagi-lagi aku jatuh cinta padamu.

Ayah,
Jangan jatuh lagi,
Tinggal dikit lagi,
Aku akan selesaikan,
Aku akan membantumu memimpin keluarga mungilmu,
Saat ini diam-diam aku pun mulai merintis hidup keras sepertimu dahulu,
Aku ingin merasakan peluhmu,
Meski aku tahu ini tak membanggakanmu,
Tetapi, Tuhan selalu cerdas meyakiniku,
Untuk kembali jadi anak baik-baik,
Menggandengkan tangan denganmu,
Menatap guratan-guratan tua di wajah tampanmu,
Ah, aku semakin jatuh cinta padamu.

Ayah,
Jangan menyerah,
Ini hari sabtu,
Sejenak bercengkeramalah dengan ibu,
Di rumah mungil kita itu,
Yang selalu aku rindu.

Tunggu aku.

P.S: Jangan bilang-bilang ibu,
      Kalau aku kekasih [gelap] mu.


Bersajak-sajakan, 22 Januari 2011

No comments:

Post a Comment