Sunday, July 4, 2010

Tentang Papa

Aku ingat ketika tubuhku masih sangat tipis. Rata dari atas sampai bawah. Rata juga dari samping kiri ke samping kanan. Ini karena seorang anak permpuan yang duduk di seberang mejaku. Ia persis seperti sosok aku 16 tahun lalu. Kacamatanya merah, rambutnya lurus sampai melewati bahu, poninya tipis menutupi dahi. Badannya juga kurus, tipis, rata semua. Ia menggenggam buku berwarna pink. Kakinya bergoyang-goyang. Matanya lekat menatap halaman bukunya. Hihi, itu aku, gumamku dalam hati. Seorang laki-laki paruh baya duduk di sampingnya, juga sedang menggenggam buku. Biru dan tebal bukunya. Sang ayah, pikirku.


Pemandangan ini membawa mesin waktu pikiranku kembali ke tahun 1994.

Aku, 7 tahun. Kacamata merahku agak terlalu besar, sehingga sering melorot sampai ke hidung. Mataku pun sering kusipitkan supaya bisa lihat lebih jelas. Buku komik tak pernah lepas dari tanganku. Papaku, ia mirip denganku. Ia suka membaca apa yang kubaca. Kami seperti teman. Aku sering mencela papa yang suka baca sambil tiduran. Ia selalu bilang, meskipun agak terlambat karena mataku saat itu sudah keburu rusak, "Cia-cia! Jangan baca tiduran!" Yah, tapi aku cela papa yang juga suka baca komik Sailormoon-ku sambil tiduran. "Papa nggak baca, cuma lihat gambar!" kata papa ngeles setelah kucela. Yah, inilah satu hal berguna yang kupelajari dari papa.Ngeles. Menghindar.

Papa, (mungkin) 30 tahunan. Tubuhnya tinggi, kurus. Semua orang memanggilnya 'tiang listrik'. Kacamatanya besar. Bingkainya berwarna hitam. Tapi papa selalu pilihkan kacamata bingkai merah untukku. Yang juga besar, sampai hampir menutupi mukaku. Meskipun begitu, aku percaya papa. Aku percaya taste-nya. Papa selalu punya selera bagus untuk segala hal. Itu menurutku dulu. Meskipun kalau sekarang kulihat lagi fotoku umur 7 tahun, uh, tolong jangan bicarakan ini, okay?

Aku, sekarang, 22 tahun. kacamataku tidak lagi merah. Papa tak pernah kuijinkan lagi memilihkan kacamata untukku. Tapi badanku masih sama, rata dari atas sampai bawah. Rambutku kupotong pendek, tidak lagi melebihi bahu; poniku masih ada. Ini untuk menyamarkan kelebihan dahiku yang jenong turunan mama. Tubuhku lebih tinggi. Sekarang, papa bukan 'tiang listrik' lagi bagiku. Tinggi kami hampir sama. Padahal, aku ingat sekali papa suka membanggakan tinggi badannya yang hampir 2 meter. "Yah, 25 cm lagi sih, Pah!" pikirku. Sekarang, ini yang dikatakannya, "Wah, tinggi Cia-cia hampir nyusul papa luh!" Hihi. Lihat kan, papa tidak terlalu tinggi lagi sekarang.

Papa, sekarang 51 tahun. Badannya lebih gemuk. Tidak lagi pakai kacamata, karena matanya sembuh secara ajaib, gara-gara baca alkitab terus waktu di penjara. Hebat! "Ini Tuhan yang sembuhin!" kata papa tersenyum lebar, mempertontonkan gigi depannya yang ompong satu. Gigi palsunya sudah tidak dipakai lagi. Hihi. Tidak bisa lagi membuatku (pura-pura) tertawa dengan lelucon gigi palsunya dulu. Tapi papa tetap papa, dia tak pernah kehabisan lelucon, meskipun gigi palsu telah lama dibuang. Cara tertawanya masih sama, cuma hatinya telah berbeda. Sejak ia sayang Tuhan, segala yang ada pada papa dulu terlihat berbeda. Meskipun, tentunya, tingginya tidak berubah.


Yeah, Pa, no matter how tall I've grown, you're always someone I look up to. :)


Sebenarnya, tidak ada alasan khusus aku menulis ini. Tapi inilah topik yang paling kukuasai. Tak pernah bosan aku menulis tentang papa. Papa, seperti apapun dia, tak pernah lepas dari otakku, juga hatiku. Tak heran, apapun yang kucoba tulis, ujung-ujungnya mengarah ke papa.

Sekarang, anak perempuan di seberang mejaku sudah pergi, papanya juga. Tapi aku masih di sini, mengakhiri kalimat terakhir tulisan ini. Yang lagi-lagi, tentang papa.

Pasar Festival, Sabtu, 17 April 2010. 17:01

*Ditulis oleh Viona Patricia, kunjungi cerita lainnya di sini: http://alwaysviona.blogspot.com/

Menulis Papa

Menulis itu mencintai
Menulis hujan berarti mencintai hujan
Menulis awan berarti mencintai awan

Menulis papa
Mencintai papa
Gampang-gampang susah

Gampang karena banyak yang bisa ditulis
Tinggal memutar memori tentangnya
Susah karena memori itu membuatku sedih
Lebih banyak menangis daripada menulis

Air mataku berjatuhan laksana hujan
Tapi selalu ada awan yang menghapus air mataku di pipi
“Tak usah menangis,” katanya, “Kenangan ada bukan untuk membuatmu menangis, tapi semakin mencintai.”

Awan benar
Mengenang papa berarti mencintai papa
Dengan menulis aku mengenang papa
Mencintai papa

*Ditulis oleh Rie Yanti, kunjungi cerita lainnya di sini: http://ceritarie.wordpress.com/

Letter for you

hari itu aku membersihkan semua ujung rumah
aku tau itu yang selalu ingin kaulakukan namun tak pernah sempat
aku mencoba dari titikyang paling berantakan
aku bereskan dan aku tumpuk-tumpuk

sekantong surat-surat itu menarik perhatian ku
selain karena dia tebal, dia juga berat
hemmmm...
ini hanya kantong tapi
aduh isinya banyak sekali

kucoba untuk membukanya
astaga !!!
lucu sekali
semua data dan surat-surat
bahkan bon rumah sakit tempat aku lahir
hihihihihihi
lucu...

karton pink kecil ini, apa ya???
ahhhhh tapak kaki ku waktu bayi
wowwwww
menarik
surat-surat ini semua kau simpan dengan rapi
hampir 25 tahun
dan baru kulihat sekarang???

wow
semua kenangan dan cerita masa kecil ku ada disana
seandai nya aku bisa membuka ini bersama mu
tidak akan pernah berhenti aku memelukmu
tidak akan cukup rasa kaum dan sayangku
cinta kepada mu membuatku gila

kau begitu
begitu..
aku bahkan tak tahu kata-kata yang tepat

seandainya kau masih ada disini
seandainya kau bisa kugenggam

tapi aku tahu, semua tak mungkin
kau ada di atas sana
meski kau tak mampu kulihat
tapi kau ada disini, dekat sekali di hatiku
dan menemaniku kemanapun aku pergi..

papa
aku bahagia
aku bangga,
aku kagum
dan rasa itu tidak akan pernah pudar
seperti sayangmu yang tidak pernah luntur

Bandung, 16 April 2010

*Ditulis oleh Lucille Gunawan, kunjungi juga cerita Lucille lainnya di http://simplycille.blogspot.com/

Friday, June 18, 2010

10 Things I Miss About My Dad---of a million things that i missed.

1. Daily calling. He always call me at 7-8pm. Asking about my place to sleep today. At home or at my rent room? Sometime I get sicked, when He calls me 3 times a day to asking the same questions. Haha. But I do really miss it now. Please call me, Dad.

2. The conversation. We have some Dad-Daughter weird relationship. Maybe because we have same words, same friends. My fav conversation w him is about art and life. I know, he more spend his time w his student—also my friends—to talk about that topics. Uhm it’s so pity me. And because of that, now, I can see my Daddy at many people around me.

3. Cooking time. Dad and my Mom oftenly doing the nite shopping. They like to shopping at traditional market on the night. And my Dad woke me up and my little sist to eat some fresh shrimp with spicy sauce at 12am! [:

4. His black cropped pant, black t-shirt and sandal jepit! His daily wardrobe when he’s not working. He often spent time to care for his plants and fishing equipment. He always forgot the time. When I woke up at dawn, He’s still at backyard, cutting the leaves, giving fertilizer, etc etc.

5. His criticism and praise. One day, I exhibited my recent experiments to my Dad, he said my work was not good. Tears on me. That works kinda difficult for me! Huhu. But one day, when He said my work: good, great, wonderfull… there’s nothing more happier than that.

6. He likes pickles, so bad. Onions, chilli, cucumbers pickles, and more pickled vegetables.

7. I miss my Daddy and his mustache! His thick and wavy hair! His exotic color skin! And the way He hold the chopstick and eat Thailand noodles with his fav black bowl, the way He slipped His reading glasses….

8. His deep voice.

9. His writing and artwork. He’s my biggest inspiration, after my beloved Grandmother.

10. Our last conversation. He asked me: “What is the most important thing in your life?”. I never told Him about my answer. I keep that for myself. Dad, the most important thing in my life is: LOVE.

Today is the 52nd my Dad’s birthday. But we no longer celebrate with dinner or special gifts or happy birthday song at midnight… Now, we have new ways to celebrate it: with PRAYS and LOVE. Although physically my Dad is not here, but blood and part of his soul is still flowing in my body and the people who loved him. Love U so much, Dad. Happy Birthday.

Drs. Djuandi Husin [April 4th, 1958-June 7th, 2008]

4 April, 2010

*Ditulis oleh Amimosa Pudica, kunjungi juga cerita Amimosa lainnya di sini:
http://amimosapudica.blogspot.com/

Rumput buat Papa

Papa suka rumput. Dulu setiap hari papa bermain dengan rumput. Tanpa rumput, papa cuma akan berbaring di kasur. Atau menonton teve sampai matanya berkunang-kunang.

Papa sayang sekali pada rumput dan tidak suka kalau mereka gondrong. Karena itu papa selalu memotong rumput sampai rapi, seperti memotong rambut anaknya yang lelaki.

Sekarang papa tidak lagi bermain dengan rumput. Tidak juga berbaring di kasur atau menonton teve sampai matanya berkunang-kunang. Papa sekarang ada di langit. Saban pagi dan sore papa suka menyiram halaman rumah sampai rumput tumbuh setinggi lutut.

Papa tahu aku tidak suka rumput. Ia suka mengetuk-ngetuk kaca jendela kamar dan berkata padaku, “Nak, cintai rumput. Mereka kan teman-teman papa.”

Aku suka heran, kenapa papa selalu menyuruhku melakukan sesuatu yang tidak aku suka? Aku tidak suka rumput, tapi papa malah menyuruhku mencintai mereka.

Barangkali karena aku tidak mengabulkan permintaannya, papa marah. Papa tak pernah lagi menyiram tanah. Rumput pun tidak ada yang tumbuh di pekarangan rumah.

Aku kangen papa dan rumput. Kulihat rumput di rumah tetangga tumbuh subur. Kucabut beberapa jumput dan kutanam mereka di dalam kepala. “Papa, aku menanam rumput di kepalaku,” beritahuku pada papa.

Papa tampaknya senang karena aku mencintai rumput juga, bahkan menanamnya di dalam kepala. Karena itu papa menyiram kepalaku. “Semoga rumput di kepalamu ini tumbuh subur, Nak,” papa berdoa.

Doa papa terkabul. Rumput di kepalaku tumbuh subur. Aku akan memberikannya buat papa.

18 Juni, 2010

*Ditulis oleh Rie Yanti, kunjungi cerita lainnya di sini: http://ceritarie.wordpress.com/

Monday, June 14, 2010

Setelah 15 Tahun

Pak,
10 Juni 2010 kemarin, aku bilang pada diriku sendiri:
I'm a survivor. More than survived.
I am also what I have lost.

Wednesday, June 9, 2010

Cinta Pertama

Papa, apa artinya cinta pertama? aku lupa.

Aku membaca sajak pertama di umur empat. Aku dibelikan buku-buku Tini yang bergambar di umur enam. Aku dipakaikan anting. Dress bunga-bunga. Sepatu putih. Aku berteman dengan Boy, anjing gempal itu. Ikat konde dua.

Aku lupa cinta pertamaku sendiri.

Oh yah, ada naksir-naksiran pertama kali. Di TK tidak ada. Di SD ada beberapa. Ada Ryan, Glenn, Michael. Ketika SMP ada juga beberapa, seleraku lebih Indonesia, ada Budi siapa-aku-lupa. Ada Andi siapa-aku-lupa-juga. Ketika lebih besar lagi, di SMA, mulai dapat surat cinta pertama, dari seseorang berinisial N.

Aku lupa cinta pertamaku sendiri.

Ketika kuliah, ada. Tepatnya tahun pertama aku di Jogja, ada. Ya, ia seorang pria lucu, yang punya selera humor luar biasa. Jangan dekat-dekat, ia akan membuatmu tertawa, sampai isi perutmu keluar. Bukan hanya lucu tapi juga cerdas. Ya, aku selalu naksir pria cerdas. Tapi, sekian saja, nasibnya lebih banyak aku catat di diary. Tidak usah diintip.

Aku lupa cinta pertamaku sendiri.

Enam tahun ke belakang aku tinggal di Bandung. Hey Papa, kita pernah bercakap-cakap tentang hal ini bukan. Suatu saat kau pernah bertanya, jadi sekarang sedang pacaran dengan siapa? waktu itu aku diam. Aku merasa pipiku memerah, senyumku mengembang. Kemudian aku jawab, sedang tidak ada Pa. Doakan saja ya. Dan kau hanya ketawa di seberang sana. Ketawamu yang khas.

Aku lupa cinta pertamaku sendiri.

Papa, kau tahu, tiap kali aku dekat dengan seseorang, aku selalu membayangkan, akan mengenalkannya padamu. Aku tahu betul, kau pasti akan memanggilnya dengan sebutan Bung. Betul kan Pa, karena kau tidak punya anak laki-laki.

Aku tahu betul, kau pasti akan mengajaknya duduk, minum teh sore-sore dan makan sagu di depan teras rumah kita. Lalu berdiskusi. Bercerita ini dan itu. Kemudian kau akan cerita juga padanya tentang buku apa yang saat ini sedang kau baca.

Aku lupa cinta pertamaku sendiri.

Aku selalu penasaran dengan fotomu bersama Mama. Kalian masih muda. Duduk di padang rumput. Sedang tersenyum ke arah kamera. Aku tahu, itu mungkin diabadikan ketika kalian sedang pacaran.

Aku hanya mendengar cerita dari Oma yang bilang kalau, kau dulu begitu sopan ketika hendak menjemput Mama. Hanya kau satu-satunya kakak tingkat yang berani main ke rumahnya, karena Opa dari Mama terkenal galak pada jamannya.

Aku tidak pernah bertanya kepadamu. Tapi bisa jadi Mama itu cinta pertamamu. Kau berani melakukan apapun untuk mendapatkan Mama. Kau punya nyali untuk memenangkan hati Mama.

Aku lupa cinta pertamaku sendiri.

Jadi perempuan, itu harus yang terhormat. Aku suka sekali dengan kata terhormat. Aku suka sekali dengan penekananmu pada kata 'hormatnya'. Aku suka mengutipnya sampai sekarang.

Aku bohong, ketika aku bilang. Aku lupa cinta pertamaku sendiri.

Aku tidak lupa uang-uang yang sengaja kau sisihkan di antara kaset video lama, di lemari buku, biasanya uang itu akan kau ambil diam-diam ketika aku merengek minta dibelikan buku. Atau sekedar minta dibelikan cemilan tidak penting.

Aku tidak lupa, bagaimana kau pulang berjalan kaki dari kantor, membawa pulang kantong plastik berisi es kacang ijo kesukaanku, diseduh di mangkok untukku, yang waktu itu baru punya jerawat satu.

Ketika aku tanya kenapa kau harus jalan kaki. Kau hanya bilang, uangnya lebih baik ditabung, dan kau akan pergi ke lemari. Mencari celah diantara kaset video lama, dan menyisipkan uangmu, yang aku tahu suatu saat nanti, uang itu pasti akan dipakai untuk keperluanku juga.

Papa, apa artinya cinta pertama. Sudah tidak ada artinya lagi. Aku mencintai siapa, aku dicintai siapa. Pria-pria yang hilir mudik. Datang dan pergi. Atau yang terkadang hanya singgah sebentar. Tidak peduli aku punya list berapa puluh.

Kau selalu disana, mencintaiku pertama.

Papa, kau, cinta pertamaku.

09.06.2010; 23:11

*Suatu saat aku akan mengenalkannya padamu. Kalian pasti akan duduk bersama di teras depan, minum teh sore-sore dan makan sagu.

Wednesday, May 19, 2010

Papa Hujan

Malam ini hujan antar aku pulang. Aku sudah pesan sama hujan sebelumnya, tolong jadilah payung untukku malam ini, jangan buat aku basah dan kedinginan. Aku tahu hujan itu teman yang baik. Dia pasti bisa mendengar aku.

Bercakap-cakap dengan hujan sering aku lakukan. Karena aku percaya hujan itu tidak bisu. Tiap butirnya, sama dengan satu kata, kalau begitu kamu tidak akan mampu menghitungnya kan?

Terlalu banyak kata.

Berbeda dengan Papa. Dalam beberapa hal Papa tidak banyak bicara. Ia pendiam. Tapi entah kenapa, tanpa di suruh ia pasti mengerti banyak. Ia menyesuaikan banyak. Ia menyediakan banyak.

Papa melakukan itu semua dalam diam. Tanpa perlu banyak penjelasan.

Papa dan aku sama-sama bungsu. Bedanya Papa Bungsu dari lima bersaudara, dan aku bungsu dari tiga bersaudara. Ketimbang ngobrol atau bercerita dengan orang lain, papa memilih tenggelam dengan buku-bukunya. Buku-buku itu mungkin lebih cerewet dari Papa.

Aku tidak percaya kalau hujan konvensional. Karena akhir-akhir ini aku perhatikan, hujan itu suka berdandan juga. Mulai pakai booths lucu. Dan mulai coba-coba pakai kaos Howler kegedean.

Papa tidak. Kemeja tak boleh yang ngejreng. Sepatu bisa sampai bertahun-tahun tak pernah diganti. Hanya punya beberapa ikat pinggang. Memilih celana potong pendek lusuh, kaos oblong, untuk bergaul dengan bulir-bulir kayu, bakal lemari.

Urusan mencintai, aku percaya Papa ahlinya. Kalau tidak begitu, mana mungkin Papa bisa bertahan dengan Mama, yang bahkan tak pernah memasak seumur-umur perkawinan mereka.

Mungkin sekarang, sedang hujan juga di teras depan rumah. Tempat favorit Papa duduk sambil baca buku kesayangan. Aku tidak tahu. Satu hal yang aku tahu, apapun yang aku lakukan di perantauan: selalu ada di doa Papa, tiap pagi.

Aku bisa berbicara dengan hujan kapan saja. Tapi tidak dengan Papa. Aku di Bandung dan Papa di Ambon. Dua hari kemarin, ketika di angkot, aku kangen sekali, tawanya yang lebar-lebar itu.

aku: aku sedang mengerjakan buku Antologi Puisi bersama teman-teman pecinta puisi lainnya, tolong doakan supaya lancar. Hey! I miss you. Papa: doa Papa menyertai Nona, semoga buku berhasil, kirim Papa satu eksemplar.

Isi pesan singkat yang membuat mataku berkaca-kaca.

Kalau suatu hari aku berhasil, aku berterima kasih untuk doa Papa untuk ketiga anak perempuannya.

Ketika menulis ini, hujan menetes di luar. Butir-butirnya hangat seperti pelukan Papa. Sekarang Ia pasti sudah pulas, dan aku sama sekali belum mengantuk.

Sayup-sayup, aku dengar hujan berdoa: Tuhan kasih Papa panjang umur, supaya kelak, ia tahu, doanya tidak sia-sia.

Aku baru tahu, hujan juga punya Papa. Tinggalnya jauh di atas sana.

20.05.09, 00:05

*Belum akan bosan, tidak pernah bosan, menulis tentangmu Albert Erens Rumthe. Satu saat, aku akan mengajakmu, liburan ke Bulan.

Thursday, April 29, 2010

My Remedy

Ada dua bapak dalam hidupku. Pertama, bapak yang membuat aku lahir kedunia sekaligus sahabat terbaikku sampai usiaku 18 tahun. Kedua, seorang yang terasa seperti bapak bagiku. Bapak yang menyusun kembali kepingan-kepingan hidupku setelah berantakan karena kehilangan bapakku yang pertama. Bapak keduaku ini bukan hanya merekatkan dan membentuk kembali diriku, namun juga mewarnainya dengan ketulusan sayangnya dan kehangatan rumah yang selalu dia berikan padaku. Dia juga sahabatku yang bisa kurasakan hadirnya, tanpa kata-kata.

Dua orang yang membuatku merasa penuh dengan rasa sayangnya.

***

Bapak #1

'Sini duduk dekat bapak. Bapak mau tanya, kamu sayang ga sama bapak?'
Aku tak pernah bisa melupakan matanya yang membundar dan ekspresinya ketika menanyakan hal ini pada anak yang sangat dia sayangi.
' Ya jelas lah. Aku sayang sama bapak.'
Aku mendekapnya. Bapakku dengan kumis dan bekas cukuran jenggotnya itu mencium sayang pipiku. Rasa bekas cukurannya, selalu nempel di pipiku sampai sekarang.


Bapak #2

"kamu kangen sayur daun singkong ya? besok aku minta si mbak masak sayur kesukaan kamu, dan besok pas makan sambil aku kirim rasanya khusus buat kamu. Aku yakin kamu di Amerika bisa merasakannya. Tombo kangen.."

"Terima kasih ya pak, untuk 'kiriman' daun singkongnya. Semoga kamu juga bisa merasakan pelukan terima kasihku dari jauh.."

"Nanti kalau ketemu, aku boleh cium dan peluk kamu kan?"

"Tentu saja. Tentu boleh. Aku juga pengen peluk kamu erat."

***

... Dua bapakku itu adalah anugerah luar biasa yang Tuhan berikan untukku.
Terima kasih Tuhan, terimalah bapak #1 di surga, di sisiMu dan Jagalah bapakku #2, lindungilah ia selalu berikan ia kesehatan dan kebahagiaan..

Amin.
Diposting ulang dari sini

Balada Bapak dan Anak Perempuannya

Pic from The Ballad Jack and Rose, Daniel Day Lewis and Camila Belle

“Buat saya bapak udah mati.” Pernyataan itu terlontar dari narasumberku, sebut saja noni, korban perkosaan oleh bapak kandungnya sendiri, yang kuwawancarai siang tadi di tanjung priok Jakarta. Saat rekanku memberitahu dia bahwa bapaknya itu kini harus mendekam 10 tahun di penjara Cianjur sana dan membayar denda 60 juta, wajah gadis manis yang baru 17 tahun itu tiba-tiba bersinar puas.

Dalam kasus noni, sejak umur 8 bulan, dia berganti-ganti ikut bapak dan ibunya yang telah bercerai. Ibunya seorang TKW di Arab Saudi dan bapaknya, bekerja sebagai buruh tani di salah satu daerah di Cipanas, Cianjur. Entah apa yang mendorong bapaknya, untuk memperkosa noni sampai tiga kali. Saat kutemui di penjara Cianjurpun, bapaknya noni tak mau mengaku dan malah menyalahkan anaknya yang menurutnya memang nakal. Masyarakat malah sempat mengira kalau noni menggoda ayahnya sendiri. Untungnya hakim merasa, bukti dan rangkaian kejadian cukup kuat untuk mengirim bapaknya noni ke penjara. Bagiku, apa yang menimpa noni, adalah satu dari sekian banyak cerita kelam dari hubungan anak perempuan dengan bapaknya yang sangat jauh dengan apa yang kualami.

Dua hari sebelum bertemu noni, aku bertemu dengan ‘bapak spiritualku’ dengan anak-anak perempuannya. Kami punya banyak cerita dan lika-liku dalam beberapa tahun terakhir ini, sampai akhirnya aku mengerti, bapakku itu lebih terasa sebagai bapak spiritual daripada hubungan antara perempuan dewasa dan laki-laki dewasa. Saat bersamanya, rasa nyamannya terasa seperti bapak pada anak-anak perempuannya, seperti apa yang kurasakan pada bapakku dulu. Bapak selalu membawa rasa nyaman yang penuh bagiku.

Setelah bertemu ‘bapakku’, aku juga ketemu sama sundea, temanku si anak bapak. Kami membicarakan rencana kompilasi tulisan kami yang akan di terbitkan beberapa bulan kedepan, mengenai hubungan anak perempuan dan bapaknya. Aku cukup surprise ketika sundea bilang, di ilmu psikologi pun, hubungan bapak dan anak perempuannya tidak di bahas secara mendalam. Tidak seperti hubungan anak laki-laki dengan ibunya. Ketika aku menbicarakan hal ini lebih jauh dengan dame, temanku yang lain, dame bilang “mungkin karena hubungan itu lebih dilihat sebagai hubungan laki-laki dan perempuan.”

Aku jadi ingat salah satu adegan di film Balad Jack and Rose, film kesukaanku yang diperankan oleh Daniel Day Lewis (Jack) dan Camila Belle (Rose), tentang ayah dan anak perempuannya. Saat itu, Jack mengusap lembut bibir Rose dan menatapnya lekat-lekat. Pada saat itu Jack melihat dan merasakan Rose secara berbeda. Ada kesadaran kontrakdiktif yang menyeruak sekaligus membingungkan dalam diri Jack. Disatu sisi Rose telah tumbuh sebagai perempuan dewasa yang mengisi kekosongan hatinya selama ini setelah istrinya meninggalkannya bertahun-tahun lalu. Di sisi lain, Rose tetap gadis kecilnya yang membutuhkan sebuah pelukan ayah, dikala gundah.

Aku teringat, suatu saat ayah kandungku menatapku lekat-lekat waktu aku hendak brangkat kuliah. Kemudian dia bilang, “ kamu cantik sekali.” Entah kenapa saat itu aku merasa senang sekaligus GR. Ke Ge-eRan yang aneh menurutku. Mungkin karena itu pujian yang paling tulus yang pernah kuterima dari laki-laki dewasa yang adalah ayah kandungku sendiri. Beberapa tahun kemudian setelah kejadian itu, bapak spiritualku, menatapku lekat. Tatapannya, terasa seperti laki-laki dewasa jatuh hati pada seorang perempuan. Dia bilang padaku, “aku tuh kagum banget sama kamu.” Dan entah kenapa, saat itu yang aku rasakan bukan perasaan senang yang GR. Aku justru menerima perkataan bapak spiritualku itu seperti pujian bapak pada anaknya. Aku ingat, saat itu aku menjawab omongan bapakku itu “aku bisa begini karena dukungan kamu juga, pak.” Karena bapakku yang membentuk kembali diriku, setelah kehilangan ayah kandungku. Hanya saja, pujian itu kemudian terasa aneh. Karena bapakku itu tidak memujiku sebagai bapak pada anaknya, tapi sebuah pujian laki-laki dewasa pada perempuan dewasa.

Dan hubunganku dengan bapakku itu jadi fase yang cukup membingungkanku. Aku bilang pada salah satu sahabatku bahwa ini adalah fase elektra kompleks yang cukup membingungkan. Bisakah, seseorang yang terasa seperti bapak, benar-benar menjadi bapak tanpa ada getaran-getaran lain seperti halnya laki-laki dewasa dan perempuan dewasa?. Kukira, kerinduan abadi anak perempuan yang kehilangan ayahnya, sampai perempuan itu dewasa bahkan berkeluarga sekalipun, dia selalu merindukan bapaknya.

Ku kira kerinduan ini bukan sekedar ketertarikan perempuan dewasa pada sosok yang lebih matang dan dewasa, atau ketertarikan perempuan muda pada ‘om-om’ belaka. Kerinduan ini lebih pada kerinduan emosional dan spiritual. Hubungan bapak dan anak perempuan selain hubungan yang fungsional juga sangat emosional. Secara konstruksi sosial, bapak memang selalu dituntut untuk bertanggung jawab penuh pada keluarganya, menafkahi dan menjamin kesejahteraan keluarganya. Tapi secara emosional, bapak adalah tiang yang menjadi pegangan seluruh anggota keluarga. Ketika tiang itu tidak tertancap dengan kuat, sulit bagi anak perempuan, untuk merasa aman dan nyaman dengan dirinya sendiri. Bukan hanya itu, namun juga ttitik pusat, ketika garis dilingkarkan dan menjadi sebuah lingkaran yang utuh. Bapak adalah rasa nyaman yang bisa membuat anak perempuannya merasa penuh dan utuh.

Menurut psikolog temenku, tanpa kehadiran bapak seorang anak perempuan akan mengalami cacat psikologis yang menyebabkan dirinya tak merasa utuh. Dan cacat itulah yang biasanya akan jadi kegelisahan abadi dalam diri seorang anak perempuan. Dia akan terus dan terus mencari sosok ‘bapak’ yang hilang itu dalam berbagai macam cara dan pendekatan.

Bagiku, bapak spiritualku itu adalah role model yang membantuku mendefinisikan kembali siapa ayahku dan apa artinya dalam hidupku. Bapakku itu tanpa ia sadari, mengajarkanku banyak hal dalam beberapa tahun terakhir ini. Mungkin dia tak menyadari betul betapa penting artinya dalam hidupku. Tanpa bapakku, aku tak bisa ‘mengenali’ ayahku yang hidup bersamaku hanya sampai 18 tahun usia kehidupanku. Ya, mungkin itulah maksud keberadaannya untukku. Yang hilang itu (ayahku) ternyata ga benar-benar hilang, tapi dia kembali dalam sosok yang berbeda (bapakku).

kgu, 17 Jan 07
Diposting ulang dari sini 

Bapak Dalam Tidurku


Aku mencari bapak. Bapak yang bisa kuajak bergandengan tangan ketika semua orang menyalami memberiku selamat. Dengan tulus juga dengan cibiran. Bapak yang bisa membuatku aman. Bapak yang bisa menarikku keluar dan memberi matahari, ketika semuanya seperti musim dingin yang panjang dan tak bekesudahan. Bapak yang bisa memelukku, mendekapku, dalam kehangatan dan kebersahajaannya. Lalu bayangan bapakku muncul dimulut tangga lantai 2 hall ruang pamer, di sayap kiri bangunan besar bercat putih, bersalaman denganku, mengalirkan kehangatan dalam darahku. Kehangatan yang sama ketika ia mengusap punggungku. Aku ingin memelukmu, mencari lebih banyak hangat, yang mungkin kau berikan sekedar jabat tangan atau usapanmu pada punggungku. Malam terlalu pekat dan panjang untuk dilalui sendiri. Aku membutuhkan genggaman tanganmu, wahai bapak.

Setelah itu waktu berjalan begitu lambat. Langkah kaki seperti sepasang kaki kecil terikat rantai besi. Berat. Dingin. Malam terasa jauh lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya. Hari berganti membawa kisah murung dan rasa sakit tak berkesudahan. Aku terkubur dalam mimpi-mimpi tentangnya.

I

Satu malam, aku bertanya padanya, bagaimana rasanya mati. Ia tak menjawab, bahkan membalas tatapanku saja tidak. Bulir-bulir air matanya mengalir perlahan dan berubah kerap. Ia tergugu. Memelukku. Tergugu seperti anak kecil dimarahi karena lalaikan perintah ibu. ‘sesungguhnya aku tak ingin pergi meninggalkanmu, manisku. Maafkan aku, membuatmu terluka.’

Begitulah. Selalu ada satu malam di mana malam begitu pekat . Dan aku berjalan seperti memikul balok es pada punggungku. Hidup terasa lebih panjang dan berat, seperti musim dingin tak berkesudahan. Dan lonceng angin seperti mengantar angin dingin, mengiringi malam-malam yang panjang menjelang.

II


satu malam, langit berwarna keemasan. Berkas cahayanya menerobos daun jendela jati, memberiku sedikit harapan, dalam keterjebakan di tengah ruang-ruang labirin dengan pintu-pintu dan tangga-tangga tak bekesudahan. Ruang-ruang tua dengan hantu-hantu penghuninya. Meneror dan mengejarku. Mungkin bagi mereka, mengejarku seperti permainan petak umpet. Dibiarkannya aku bersembunyi untuk mereka kejar dan mereka temukan. Kemana aku harus lari? Yang kujumpai adalah pintu dan pintu. Tak ada jalan keluar yang sesungguhnya. Saat berhasil meraih tangga, yang kudapati adalah lorong tangga yang gelap, seperti sumur tanpa dasar tak jelas ujungnya. Aku terus berlari. Dikejar hantu-hantu. Tak tahu arah untuk membebaskan diri. Ditengah keputus asaanku, sepasang tangan, yang hangatnya aku kenal betul, memintaku mengikutinya. Tangan itu membukan sebuah pintu. Cahaya terang benderang menyerbuku, hingga aku terjatuh karena silau. Saat mataku berhasil melihat dalam terang, kulihat hamparan kota mati di bawah bukit, menawari jalan lain untukku. Membebaskanku dari kejaran hantu-hantu, sekaligus menjebakku pada ketakutan lain. Sepasang tangan, berubah menjadi sosok lengkap yang tak kukenali wajahnya, tapi hangatnya terasa akrab bagiku. Tangannya menunjuk ke lembah, ‘kau harus bisa melaluinya, baru kau kan temukan jalan pulang.’ Aku menatap sejenak, mencoba mencari muka pada sosok penolongku, tapi tak berhasil kutemukan. Kutatap hamparan lembah kota mati, ‘ini jalanku’. Dengan langkah berat dan perlahan, aku mulai berjalan ke arahnya.
«

Satu malam, sebuah mobil sedan perak metalik, parkir dihadapanku. Setirnya baru, warnanya berkilat-kilat karena baru. Seseorang berwajah bapakku ada di situ, memintaku mengemudikannya. Tapi aku tak berani melakukannya. Aku bilang padanya aku takut merusaknya. Aku belum pandai menyetir. Orang berwajah bapakku bilang, jika tak dicoba kapan aku bisa? Dia menyemangatiku, meyakinkanku. Dan mobil bergerak ketika aku mengemudikannya. Ya, aku menyetirnya dengan rasa was-was, takut membuat cat perak metaliknya tergores.

Saat ku terjaga, peraduanku seperti bermandikan cahaya terang. Menyilaukan dan memberikan suasana hati yang lain. Ketenangan yang lain. Juga ketakutan yang lain. Saat itu lonceng angina di kamarku merambatkan pesan, perjalanan telah dimulai.
«

Satu malam, seekor singa meraung saat saat ku melewati kandangnya. Ketika kudekati hanya suaranya yang terdengar. Wajahnya terkurung di balik tembok pagar penghalang. Kujauhi, suaranya mengikutiku. Kuberlari, dan semakin kencang berlari, tubuhnya menembus tembok mengikuti lariku. Aku dikejar seekor singa berwajah barongsay putih berbuku mata lentik. Bulunya lembut seperti gumpalan kapas yang bergerak-gerak tertiup angin. Tapi rasa takut terlanjur mengagahiku. Aku berlari dan berlari. Bersembunyi di balik bilik reyot, menyembunyikan diri dari kejarannya. Tapi tak lama, cakarnya memaksaku keluar. Dan keberanian muncul ketika takut meraja seperti pemerkosa dikuasai birahi, aku menjelma dalam wujud monster ganas berbulu kelabu. Tanpa ampun aku mengamuk, mencabik bulu saljunya, tubuhnya, sampai matanya yang besar dan lentik seperti topeng barongsay, membeku, tak bergerak. Darah menggenang, seperti es serut dilumuri sirup strawberry. Ketakutan mereda. Aku menjadi diriku lagi. Dalam kelimbunganku, takut berubah sesal yang silih berganti menggagahi. Aku seperti korban pemerkosaan beruntun yang kemudian membunuh si pemerkosa dengan sangat kejam. Mungkin singa putih bermata lentik itu, tak bermaksud menyakitiku, mungkin ia hanya ingin bermain-main. Aku telah membunuhnya. Aku pembunuh. Seorang anak kecil yang diam-diam bersembunyi dan menatapku di pojokan, menjadi saksi pembantaian singa putih bermata lentik. Kami sama-sama terjebak di balik bilik reyot, digagahi rasa takut yang berbeda. Ia menatap memohon, merengek padaku ingin bertemu orangtuanya. Aku yang dihantui rasa sesal, menebus rasa bersalahku dengan berlari mengantar anak kecil itu pada orang tuanya.

Anak kecil itu akhirnya bertemu orang tuanya. Tapi si anak jatuh hati padaku. Ia berubah pikiran, ingin ikut denganku. Tapi aku, tak ingin dibebani anak itu. Aku kembali berlari. Kali ini meninggalkannya, menanggalkan peran juru selamat yang sebelumnya kumainkan. Tapi anak kecil itu seperti hantu yang mengikutiku. Tak terlihat, hanya gelak tawanya yang menguntit, memantul pada tembok-tembok gang sempit dan becek yang kutapaki dalam perasaan campur baur. Aku seperti lari dalam labirin, dikejar suara anak kecil tergelak-gelak seperti mentertawakanku. Sampai ku temukan tubir jurang tak bertepi. Kuhentikan kakiku, anak itu berhenti tertawa, dunia berhenti berputar. Hening. Awan-awan hijau tipis, turun dari bukit menyelimuti dasar jurang yang tak kulihat terang di bawahnya. Inilah akhir segalanya, dan aku akan menemukan bahagiaku di sana. Anak kecil itu kemudian tampak dalam sosoknya, berdiri di hadapanku. Menatap memohon ‘jangan tinggalkan aku!’ aku tersenyum, menatapnya sejenak. ‘aku bahagia!’ sejurus badanku terasa ringan tanpa beban, berselimut awan hijau tipis, mengantarku ke dasar jurang, menjemput keabadian. Anak kecil itu menatapku di tepi jurang dan menagis dalam diam. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasa patah hati.

Lonceng angin di jendelaku bergerak lirih. Bunyinya seperti tangis tertahan. Aku menangis tanpa suara ketika terjaga. Rasa sakit menekan dadaku begitu kuat. Tapi entah kesakitan yang mana. Mungkin kesakitan ketika kusadari aku harus berjalan sendiri.
«

Satu malam, kamarku terbakar. Buku-buku yang kucintai, perpustakaan hidupku terbakar. Aku menangis. Meraung. Sakit seperti sebagian diriku terbakar jadi abu. Orang-orang menghiburku. Tapi tak satupun bisa menghapus air mataku. Seseorang berwajah bapakku mendekatiku di tengah-tengah kerumunan orang yang menonton puing-puing dan rumah yang menjadi arang. Dilemparkannya majalah lama, National Geographic, kehadapanku. Sampulnya yang berbingkai kuning menampakan kolase potret perjalanan sebuah cita-cita setelah seratus tahun. Kumisnya menegang seperti injuk dan matanya yang tak terlalu besar membulat, membelalakiku. ‘Legenda pribadimu ada di depanmu bukan dalam puing-puing itu.’ Aku berhenti meraung. Mataku sembab, pedih terkena debu puing, dan hatiku sakit. Lelaki berkumis itu memukul hatiku dengan kata-katanya.

Aku kembali menangis diam-diam. Sampai lonceng angin bergerak-gerak di jendela kamarku, bunyinya jernih. Bening. Sebening bisik tanya di telingaku, ‘Dimakah kau legenda pribadiku?’
«

Satu malam, kamarku basah. Air menggenang dimana-mana. Kucari sumber airnya, ternyata mataku sendiri. Airmata mengalir tak henti-henti. Menggenangi seluruh isi kamarku. Buku-bukuku mengambang. Berenang-renang mencari tempat untuk menepi. Aku sebentar lagi tenggelam. Tenggelam oleh air mataku sendiri. Sendirian dalam kamarku yang tiba-tiba menjadi sangat-sangat luas. Seluas gudang-gudang tua di depan rumahku. Kupikir mungkin ini saatnya aku akan mati. Tenggelam dalam air mataku sendiri. Merana dalam duka yang kutanggung sendiri. Kupejamkan mata. Gelembung-gelembung udara keluar dari mulutku. Perlahan tapi pasti, air mencapai rambutku. Baiklah. Mungkin aku seperti Petar Popara Blacky* yang mencari anaknya Jovan selama bertahun-tahun. Sampai akhirnya bertemu, saat Blacky mendengar Jovan memanggil dari dalam air. Menenggelamkan diri bagi Blacky, berarti akan bertemu lagi dengan belahan hatinya. Mungkin aku juga akan bertemu bapak jika aku memutuskan untuk tenggelam.

Air hampir menyentuh langit-langit. Aku mulai merasakan kehangatan yang akrab ada di dekatku. Sebentar lagi. Aku kan temukan yang kucari.
Tiba-tiba air menyusut drastis, seperti sumbat yang dilepas dari dasar bak mandi. Seseorang yang kucintai bukan sebagai bapak menjambak rambutku. Menampar-nampar pipiku. Mencoba menggugah kesadaranku, yang nyaris hilang seluruhnya. Dia mendekapku. Memberiku hangat, meski bukan hangatnya tak terasa seperti bapak. Dia mencium seluruh wajahku, mencoba membangunkanku. Tapi sia-sia. Kesadaranku enggan kembali. Dia mulai terisak. ‘Jangan mati, jangan mati!’ Ia kembali menciumi wajahku. Menempelkan mulutnya di mulutku. Mencoba menghembuskan nafas hidupnya pada diriku. Tapi tetap aku tak bergeming. Air matanya
menjadi semakin kerap, menetes membasahi wajahku.

Lonceng angin tak bergerak. Angin pun berhenti bergerak. Semua seperti terjebak dalam balok es besar. Diam. Dingin dan tak bergerak. Hanya matahari yang berani menjatuhkan sinarnya di wajahku. Mataku terbuka. Tapi dia tak ada di sampingku. Hanya rasa ciumannya yang tertinggal. Membeku di bibirku. Sementara tubuhku seperti bara yang menyala. Panas. Es batu dalam bungkus kain kompres tak sanggup mendinginkan panas tubuhku. Sinar matahari membuat mataku berkunang-kunang. Tak ada kata yang sanggup keluar dari mulutku. Aku merasa lelah. Aku tak sanggup menahan tubuhku yang mungkin sebentar lagi meleleh. Aku benar-benar lelah. Aku tak sanggup lagi. Dan aku pun jatuh tertidur.

Sore hari saat ku terbangun, lonceng anginku bergerak tanpa suara. Dia ada disisiku. Menggenggam erat tanganku. Tersenyum bahagia melihatku siuman. Dia kecup dahiku. Seketika dingin menjalar, meredakan panas tubuhku. Perlahan dia rapatkan wajahnya di wajahku, ‘ kamu tak sendiri sayang.’
«

Satu malam aku dibawa ke dalam jalan berbelok, berliku-liku, gudang-gudang tua dan kosong, gelapnya malam dan kebuntuan. Entah bagaimana aku seperti berjalan-jalan mencari tempat baru untuk ku bernaung. Ku lewati beberapa rumah tapi tak ada yang cocok, sampai aku tiba di kompleks gudang-gudang kosong (seperti kompleks gudang tua di depan rumahku), tapi kemudian aku tersesat di antara jalan-jalan itu, karena aku tak menemukan jalan raya untuk pulang. Sampai gelap menyergap, aku berpapasan dengan beberapa orang yang mengusung mayat-mayat berlumuran darah, tak jelas mengapa mereka mati. Aku menghindari mereka dangan perasaan waswas. Karena bukan hanya usungan-usungan mayat itu yang aku temui, tapi juga orang-orang dengan pedang bersimbah darah di tangan dan mata haus darah. Menghindari mereka membuatku kehilangan tujuan. Sempat terjebak di tengah kerumunan orang yang sedang berpesta. Tapi bukan pesta yang menyenangakan. Aku meninggalkan pesta itu, meski banyak sekali pohon dan daun-daun cemara menghalangi jalanku (tempat pesta itu memang dikelilingi pohon-pohon cemara). Lalu aku terus berjalan sampai pagi menjelang. Sampailah aku di jalan batu di daerah pegunungan. Indah karena hutan pinus tua di belakangku. Aku putus asa meski bukan aku sendirian di yang berjalan beberapa orang yang kukenal samar-samar muncul berpapasan silih berganti. Putus asa, karena kupikir ini adalah jalan tak berujung dan aku merasa bahwa aku tak akan pernah sampai ke rumah. Menapaki jalan yang menanjak dan menurun, berliku-liku, seolah-olah tak berujung, melewati desa-desa dengan kesenyapan yang aneh dan mendirikan bulu kuduk. Sampai akhirnya beberapa orang pejalan kaki yang tersesat ini termasuk juga aku, sampai di sebuah rumah gubuk sederhana, tidak reyot tapi juga tidak terlalu kuat. Kami memutuskan beristirahat di situ karena kami tak tau lagi bagaimana menemukan jalan kembali pulang. Karena kami tau rumah itu adalah ujung jalan yang kami tapaki. Kami sampai pada jalan buntu. Semua berpikir dalam diam. Keheningan mengambang seperti kabut di sela-sela hutan pinus. Tiba-tiba sebagaian kecil dari kami bangkit, mengambil air dan bersuci lalu bersujud memohon petunjuk kepada Maha dari segala Maha, dengan kerendahan hati. Aku berdiri terpaku melihatnya. Tiba-tiba kami semua di rumah itu merasakan gubuk itu berputar (entah berapa derajat) dan pintunya terbuka, di balik pintu itulah jalan baru terbentang luas di depan pintu. Kami senang sekali. Tiba-tiba aku menangis bahagia, bersyukur sekaligus takjub. Yang Maha kuasa menunjukkanku jalan pulang. Jalan baru untuk pulang. Orang-orang berlari-lari bahagia menuju jalan pulang dan aku ada di antara mereka yang berbahagia.

Aku terjaga oleh lonceng angin yang berbunyi dengan nada yang baru. Riang seperti mengantarkan anak-anak pulang ke rumah, usai bubar sekolah. Membawa nasehat guru akan pandangan hidup yang baru.

III

Satu malam, bapak datang menghampiriku. Berwujud dirinya yang kujumpai dimulut tangga gedung putih tempo hari. Ia tak berkata apapun, hanya berdiri membelakangi cahaya. Membentuk bayangan hitam. Tanpa muka, tapi dengan kehangatan yang akrab. Menatapku yang meringkut pulas seperti bayi. Lama. Ia menghampiriku. Tangannya mengusap lembut punggungku. Bisik lembutnya di telingaku seperti penutup kuping di musim dingin. ‘Selamat tidur manisku. Aku kan selalu menjagamu.’

«««

Untuk semua yang pernah menjadi bapak dan mimpi yang pernah datang dalam tidurku
Lastversion, 14 agustus 2004. KGU 8

Diposting ulang dari sini

Memento in My Everydaylife



“you can erase someone from your mind. Getting them out of your heart is another story.”
–eternal sunshine of the spotless mind-
I

10 juni 1995. sabtu.
Saat itu aku hanya bisa menuliskan dalam buku harianku, bahwa aku kehilangan dia untuk selamanya. Aku hanya menangis dalam hati. Bahkan ketika jasadnya ditimbun tanah. Aku hanya menatapnya, tanpa air mata. Tanpa raungan histeris. Juga ketika aku menatap detik demi detik nyawanya berpisah dari tubuhnya. Setelah memberikan pesan terakhirnya padaku dengan nafas tersenggal-senggal ‘jangan lupa solat, kalau punya anak ajarin dia ngaji dan yang akur ya sama adikmu.’ Ada lubang yang tiba-tiba menganga dalam hatiku. Pikiranku temporary black out. Seperti komputer yang tiba-tiba blank. Kosong. Kamar yang ditinggal penghuninya. Semua barangnya masih tetap di tempatnya tapi orangnya tak ada dan tak pernah kembali. Sepi.

***
Keesokan pagi dirimu terbangun. Jendela kamarmu masih tetap sama. Langit pagi yang biasa kau pandangi masih tetap sama. Kehangatan matahari pagi yang menerobos jendela kamarmu, masih sama hangatnya. Kau pandangi sekelilingmu, tak ada yang berubah dari tempatnya. Baru saat kau bercermin, kau sadari, dirimu berubah. Terurai dalam kepingan-kepingan ingatan yang kehilangan bentuk. Semua seperti saat kau gagal menyelesaikan susunan balok-balok kayu masa kecilmu menjadi bentuk yang kau inginkan. Lalu dirimu meruntuhkannya dan menyusunnya kembali dari awal. Saat kau merestartnya, kau berada dalam perpindahan waktu, sebelum kematian dan sesudah kematian bapakmu Before Christ (B.C.) berpindah ke Anno Domini (A.D.).

***

II
YK, Saturday, January 01, 2005
Hari pertama di tahun ini, aku terbangun di tengah hari di rumah ini lagi. Mencoba meredakan badai migrain yang tiba-tiba menyerang kepalaku dalam tiga hari terakhir dan mengosongkan isi kepalaku yang penuh sesak oleh banyak persoalan. Meski bangun dengan kepala sakit sebelah, tapi hatiku sudah merasa sedikit lega. Entah masalah mana yang menguap duluan. Tapi sedikit kelegaan cukup membantu untuk memberi ruang bagiku untuk berpikir kembali apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi atau kuhadapi. Maaf kalau aku terkesan melarikan diri. Tapi aku memang sudah tak tahan lagi. Aku butuh jeda sebentar.

***

Lalu kau menghela nafas panjang dalam jedamu. Menghembuskannya kembali bersama semua kepenatan dirimu. Menyusun bagian demi bagian dirimu yang tercerai berai. Mencoba komposisi yang berbeda untuk menemukan dirimu yang baru. Ingatan demi ingatan yang kau catat dalam ribuan lembar buku harianmu seperti balok-balok kayu yang kau susun ulang dalam project besar menyusun vitarlenologymu (ilmu kehidupannya tarlen). 'We are also what we have lost'. Begitulah Alejandro Gonzales Innarittu, sutradara muda mexico kesukaanmu, menulis dalam penutup Amores Perros, film pertamanya yang menang di banyak festival. Kau adalah kehilangan yang pernah kau alami.

III

(Before Christ..)

Mmm, coba aku ingat-ingat ...
Aku selalu bertanya: ‘Pak kalo itu pohon apa ya? Kalo yang sebelah sana?’ Trus itu yang dibelakangnya?’.. bapakku selalu menjawab. Dan aku tak tau apakah jawabannya benar atau karangan dia saja untuk menutup mulutku yang tak mau diam jika jpergi ke luar kota dengan Opel Record kesayangannya.

Dia pernah melecutkan sabuk kulitnya ke udara sambil mendelik, menyuruhku berhenti merengek minta dibeliin boneka. Sangking ketakutannya, aku ngga bisa menangis tapi meringkuk ketakutan di sudut lemari. Itulah pertama kali sekaligus untuk yang terakhir kali dia memintaku mematuhi perintahnya dengan cara seperti itu. Dan sepanjang hidupnya, dia tak pernah memukulku.

Dia suka memberiku hadiah diam-diam. Membelikanku pin, memberi uang-uang kuno, membelikan album perangko, memberikan benda-benda kecil yang membuatku senang tanpa sepengetahuan ketiga saudaraku yang lain. Dan ketika kutanya, ‘Pak ini berapa harganya?’ dia jadi bete. Sedikit membentakku, dia menjawab: ‘ Ga usah tanya harga, 
simpen aja sama kamu dan jangan beri tahu adikmu.’

O ya, aku pernah sangat terheran-heran padanya. Ketika itu adikku hampir membakar gudang perkakas di bagian depan rumahku. Dia menjatuhkan lilin dan membakar rak rotan tumpukan baju-baju tak terpakai. Ibuku sibuk menarik rak rotan itu keluar dari gudang perkakas dan dibantu tetangga, memadamkan api yang membakar hampir seluruh rak rotan. Sementara bapakku yang masih belepotan oli, karena memperbaiki Opel Recordnya yang jago mogok itu, malah sibuk memarahi adikku yang nangis-nangis ketakutan melihat api yang berkobar-kobar. Aku menyaksikan ibuku, tetanggaku, api yang akhirnya berhasil dipadamkan, bapakku yang marah-marah, adikku yang nangis-nangis, sambil menjilati es lilin 10 rupiah yang kubeli di tukang es lilin yang biasa mangkal di dekat rumahku. Aku terheran-heran dengan bapakku yang memutuskan memarahi adikku terlebih dulu daripada membantu ibuku memadamkan api.

Setiap pergantian caturwulan, bapakku sibuk merautkan seratus batang potongan bambu sepanjang 15cm untukku belajar berhitung. Setiap kenaikan kelas pula, dia akan mengajakku ke toko buku dan alat tulis langganannya dan membiarkanku membeli kotak pensil baru, penghapus karet dengan bentuk-bentuk yang fancy. Dan dia akan merautkan semua pensil baruku sampai runcing sempurna.

Hal yang paling senang kami lakukan bersama adalah berkhayal bersama. Kami akan berbaring bersama menatap langit-langit. Dan dia akan mulai bercerita tentang laut, tentang samudra dan mengarunginya. Khayalan masa kecilku dengan mudah mengkhayalkan itu. Semua buku cerita yang pernah kubaca, membantu mengembangkan khayalanku. Belakangan setelah dia pergi, aku baru menyadari, saat seperti itu baginya adalah saat mengenang sepenggal perjalanan hidupnya yang konon pernah dia jalani sebagai pelaut.

Dia akan duduk di teras loteng rumah untuk memandangi bintang-bintang atau melihatku dan adikku giliran bernyanyi untuknya. aku senang bernyanyi dengan gaya didepannya. karena dia adalah apresiator yang baik untuk semua karya anak-anaknya.
kadang aku menjumpainya duduk di teras sendirian, setelah dirinya bertengkar dengan ibuku. Dia akan pura-pura tidur jika ada orang mendekatinya. Aku biasanya akan langsung duduk dipangkuannya tanpa bicara apa-apa. Hanya ingin menemaninya saja.
Pertengakarannya dengan ibuku, biasanya disebabkan karena ketidak ekspresifannya untuk menunjukkan perhatiannya pada ibuku, soal uang belanja yang kurang, soal sikapnya yang memberi keleluasaan pada ibu untuk mengambil keputusan dalam keluarga, sehingga ibuku bosan terus menerus mendominasi dan merasa cape sendiri. Soal ketidak mengertian ibu pada sikap dan apa yang ada dipikiran bapak. Banyak.

Aku senang, jika dia pulang dari tugas luar kotanya, terutama Cianjur, dia selalu membawa kacang asin Cap Beringin. Sesudah mandi dan beristirahat, dia akan mengajakku dan adikku berlomba makan kacang.

Kadang kami mendengarkan kaset Trio Los Pancos kesukaannya dengan lagu-lagu latin. Bapakku akan ikut-ikutan bernyanyi dengan gaya seriosanya yang fals. Aku dan adikku pasti tergelak-gelak sampai terkencing-kencing melihat gayanya yang kocak.
Dia punya kumis yang begitu baplang. Anak-anak kecil tetangga rumahku, selalu memanggilnya dengan sebutan Pak Raden. Suatu ketika aku menemukan fotonya tanpa kumis dan aku tak mengenalinya. aku bertanya pada ibuku dengan polosnya: ‘Bu ini siapa sih, bapak-bapak pake kaca mata hitam, lagi baca koran, kok kaya copet ya?’
Jika aku sakit, dia selalu membelikanku bubur ayam di restoran Cina Pasar Kosambi atau di Jalan Naripan, lengkap dengan buah apel. Itu adalah makanan yang selalu kuminta jika aku jatuh sakit.

Dia membiarkanku mengengemut permen sambil tidur, karena itu adalah kebiasaan masa kecil yang kusukai. Ketika gigiku sakit, ibuku marah-marah dan dia yang akan meneteskan minyak cengkeh yang amit-amit rasanya itu pada gigi-gigiku yang berlubang.
Dia akan mengatakan, betapa beruntungnya aku bisa makan, sementara banyak anak kelaparan di Ethiopia jika aku tak menghabiskan nasiku. Saat aku bosan dengan kata-katanya itu, aku akan menjawabnya: ‘Untung aku ga tinggal di Ethiopia.’

Dia punya koleksi baut, mur, dalam berbagai ukuran, berkaleng-kaleng. Punya segala macam kunci peralatan montir. Punya tool box besi yang keren banget menurutku waktu aku kecil, dan aku tak pernah boleh memakainya untuk kotak baju boneka-bonekaku.
Dia senang sekali mengajak keluarganya piknik ke alam terbuka. Ke pantai, ke gunung, berendam di kolam air panas, kebun teh, kemanapun yang penting pergi piknik. Kepalanya akan pusing-pusing dan mengeluh badannya pegal-pegal, jika sebulan tak ada acara dinas keluar kota. Begitu ada di belakang kemudi dan mencium jalan raya antar kota, badannya akan kembali segar dan bersemangat.

Kira-kira tiga tahun sebelum dia jatuh sakit, ketika anak-anak beranjak dewasa, ketika dia dan ibuku punya lebih banyak waktu untuk berdua dan lebih memahami satu sama lain, setiap hari minggu pagi, dia dan ibuku pergi belanja ke pasar bersama. Selalu setiap minggu pagi.
.....

(Anno Domini...)

‘Bu kok, sekarang seringnya ke pasar sendirian? Bapak kok jarang keliatan?’ Mang Ganda, tukang oncom di pasar kosambi langganan ibuku bertanya seperti itu, tak lama setelah bapakku meninggal. Aku ingat kesedihan ibuku ketika menceritakan itu padaku, sepulang ia dari pasar.

Masih ada satu koper kulit, tersimpan rapi hingga kini, berisi bermacam ijasah, catatan otentik sepenggal kisah hidupnya yang terekam. Fotonya yang begitu tampan dari kanak-kanak sampai menjelang dewasa.

Mungkin semua surat-surat itu, bisa memberi sedikit gambaran tentang siapa lelaki yang pernah memiliki nama baptis Johanes Bergman itu. Bapakku.
Aku tak pernah tahu dengan pasti mengapa dia tak pernah mau bercerita banyak tentang masa kecilnya yang tidak bahagia itu? aku tak pernah tau silsilah keluarganya dengan jelas. Aku tak sempat bertanya apa yang membuatnya bahagia. Aku tak sempat bertanya mengapa dia memutuskan pindah agama. Aku tak sempat bertanya mengapa dia memutuskan menikahi ibuku. Aku tau ayahnya, ayah tirinya. Ibu kandungnya. Ibu tirinya. Tapi tak mengenal kakek dan nenekku itu dengan baik. Begitu pula dengan saudara tirinya dan adik perempuan kandungnya yang misterius yang konon kabarnya meninggal semasa ia kecil.

Hanya kamus bahasa Indonesia susunan Adinegoro yang tersisa dari semua koleksi buku-buku yang pernah dia ceritakan padaku. Jam tangan Rolex imitasi, semua KTP, SIM, kartu pegawai. Agenda catatannya. Manset. Satu kotak negatif film dan foto-foto dirinya dengan keluarganya, anak-anaknya, teman-temannya, masa mudanya. Sarung-sarungnya, jaket kulitnya, jaket armynya. Kaos oblong terakhir yang dia pakai dengan bekas guntingan, ketika teman-teman masjidnya harus melucuti bajunya dan menggantinya dengan kafan.

Bagaimana suaranya, bagaimana dekapannya, bagaimana belaiannya, bagaimana ciumannya, bagaimana ekspresi kemarahnya, bagaimana ekspresi gembiranya, bagaimana makiannya jika ada supir angkot menyalip mobilnya, bagaimana dirinya.. semua menorehkan ingatan pada diriku, aku mengingatnya yang mencatat bukan hanya otakku dan panca indraku, tapi dengan hatiku.

IV

Kini kau memasuki tahun kesebelas, hidup dengan semua kenangan atas dirinya. Kau pikir kau tak mampu hidup tanpa dirinya, tapi nyatanya kau malah menapaki hidupmu lebih jauh dari yang kau kira. Semua memori yang membekalimu. semua kepingan-kepingan memorimu bersamanya, seperti potongan-potongan kain yang terjahit jadi satu, membentuk quilt yang menyelimuti hidupmu. Melindungi perjalanan hidupmu.
Awalnya, semua kenangan manismu bersamanya berubah getir ketika kau kehilangan dirinya. Setiap kali kau memutarnya kembali seperti sebuah slide show, reaksimu selalu berubah.

Dua tahun pertama setelah kematiannya, kau selalu menangis ketika mengingatnya. Kau meratapi waktu yang kemudian hilang bersama jasadnya. Kau kehilangan kesempatan untuk menorehkan lebih banyak memori hidup bersamanya. Kau marah pada dirimu sendiri, karena merasa tak mampu menyelesaikan buku catatan dan album kenangan sesuai ending yang kau inginkan. Perasaanmu seperti seorang penonton yang kecewa karena actor soap opera mu tiba-tiba mati dan tak akan muncul di serial berikutnya.

Tapi hidup terus berjalan bersama semua kehilangan yang kau rasakan. Semakin sering kau memutarnya, semakin kuat dirimu menghadapi perjalanan barumu tanpa dirinya. Kemudian kau sadari bahwa kau pernah punya sepenggal waktu yang begitu indah dalam hidupmu ketika bersamanya. Semuanya seperti album foto-foto lama yang kau simpan dengan baik untuk menandai waktu yang terus bergerak. Memori itu yang kemudian membentuk dirimu sekarang.
V

Hidupku mungkin tak seseru buku harian Zlata Filipovik atau Anna Frank yang keduanya sama-sama mencatat kekejaman hidup bernama perang.

Perangku adalah dengan diriku sendiri. Bagaimana setiap hari aku bergelut dengan pikiran bagaimana membuat hari ini lebih baik dari hari sebelumnya. Bagaimana melihat semua memori dalam perspektif yang baru setiap hari. Hidup senantiasa bergerak bersama waktu. Semua artefak hidupku, semua memoriku yang tersimpan maupun sengaja kusimpan, menandai sebuah langkah kecil dari diriku yang jadi atom dalam keseluruhan kisah sejarah besar manusia.

Semua ingatanku menjejak menjadi lingkaran tahun pada batang pohon.. momentum saat lingkar batang bertambah, kulalui setiap hari. Semua kenangan itu menjadi pupuk yang menyuburkan pertumbuhannya.
Everything change, but nothing really lost.
I am also What I have lost. 

Diposting ulang dari sini