Wednesday, March 23, 2011

Ayah Saya Ini dan Itu

Ayah saya galak, dulu ketika saya masih duduk di bangku SD, ayah selalu bilang bahwa target nilai itu harus sembilan atau sepuluh. Tidak boleh tidak. Tidak ada di dalam kamus Ayah yang mengatakan bahwa angka delapan itu bagus. Dan saya selalu mendorong diri saya untuk mendapatkan nilai minimal sembilan. Bukan, bukan untuk menyenangkan hati ayah. Saya hanya merasa tidak ada yang salah dengan standarnya, sehingga lambat laun saya menjadi terbiasa dengan didikannya. Sampai sekarang.

Ayah saya selalu memeriksa hasil belajar saya setiap malam. Sepulang dari kantor, ayah saya selalu memberikan latihan soal matematika untuk saya. Latihan itu tidak akan selesai jika saya belum mendapatkan hasil sempurna—menjawab semua soal dengan benar. Saya ingat sekali ayah selalu menuliskan latihan soal tersebut di dalam sebuah block note yang ia dapat dari kantornya. Tulisan tangannya tegas, menekan sampai terjiplak di kertas bagian belakang.  Dan hasilnya? Saya resmi mendapatkan angka seratus pada pelajaran matematika dalam Ujian Nasional Sekolah Dasar.

Ayah saya, sampai detik ini adalah orang pertama yang selalu mengecek kelengkapan alat tulis saya menjelang ujian. Ujian apapun, mulai dari Pra EHB dan EHB ketika duduk di SD, ulangan umum dan try out di bangku SMP dan SMA, sampai ke SPMB. Ayah saya tegas dalam bidang pendidikan.

Ayah saya adalah orang yang selalu saya hubungi jika saya sendirian di rumah dan merasa lapar. ‘Papi dimana? Beliin makanan ya, Dek Sekar laper.’ Itu adalah kata-kata yang sering saya tuliskan dalam pesan singkat untuknya. Dan ayah selalu pulang dengan makanan yang saya sukai, meskipun saya tidak memintanya. Ayah saya juga adalah orang pertama yang khawatir dengan kesehatan saya ketika saya putus cinta. Saat itu ia selalu pulang ke rumah dengan membawa makanan cepat saji yang menjadi kesukaan saya.

Seiring dengan berjalannya waktu, ia semakin jarang marah. Ia bilang dulu ia galak agar saya punya fondasi yang kokoh, sehingga ketika saya tumbuh dewasa ia cukup melihat saya dari jauh dan tidak perlu menggandeng saya terus-terusan ketika berjalan, karena ia tahu saya sudah menjejak dengan kuat ketika melangkah. Saya akan selalu menjadi gadis kecil ayah dengan cara kami masing-masing. Saya suka saat-saat ayah memperlakukan saya seperti ketika saya masih kecil, melakukan hal-hal yang bisa membuat saya bahagia, apapun itu. Di dalam diri saya mengalir nilai-nilai yang ayah tanamkan, dan saya bangga dengan itu.

Menggambarkan sosok ayah bukan pekerjaan yang mudah, karena terlalu banyak hal tentangnya yang ingin saya tuliskan disini. Ia adalah sosok yang galak namun lembut, santai namun tegas, kuat namun terkadang terlihat lemah. Saya ingin ayah ada di samping saya ketika saya memakai toga di bulan September nanti, saya ingin mencium tangannya ketika ia harus melepaskan saya untuk seorang pria di luar sana, dan saya selalu ingin menjadi gadis kecil itu. Gadis kecil Ayah.

Untuk Raden Djoko Suntoro Dirdjoatmodjo, di atas semua yang telah terjadi, tersenyumlah dan berbahagialah.

Aku menyayangimu.


(oleh rahadinisekar di http://writethemall.wordpress.com/2011/03/24/ayah-saya-ini-dan-itu/)

No comments:

Post a Comment