Sunday, July 4, 2010

Tentang Papa

Aku ingat ketika tubuhku masih sangat tipis. Rata dari atas sampai bawah. Rata juga dari samping kiri ke samping kanan. Ini karena seorang anak permpuan yang duduk di seberang mejaku. Ia persis seperti sosok aku 16 tahun lalu. Kacamatanya merah, rambutnya lurus sampai melewati bahu, poninya tipis menutupi dahi. Badannya juga kurus, tipis, rata semua. Ia menggenggam buku berwarna pink. Kakinya bergoyang-goyang. Matanya lekat menatap halaman bukunya. Hihi, itu aku, gumamku dalam hati. Seorang laki-laki paruh baya duduk di sampingnya, juga sedang menggenggam buku. Biru dan tebal bukunya. Sang ayah, pikirku.


Pemandangan ini membawa mesin waktu pikiranku kembali ke tahun 1994.

Aku, 7 tahun. Kacamata merahku agak terlalu besar, sehingga sering melorot sampai ke hidung. Mataku pun sering kusipitkan supaya bisa lihat lebih jelas. Buku komik tak pernah lepas dari tanganku. Papaku, ia mirip denganku. Ia suka membaca apa yang kubaca. Kami seperti teman. Aku sering mencela papa yang suka baca sambil tiduran. Ia selalu bilang, meskipun agak terlambat karena mataku saat itu sudah keburu rusak, "Cia-cia! Jangan baca tiduran!" Yah, tapi aku cela papa yang juga suka baca komik Sailormoon-ku sambil tiduran. "Papa nggak baca, cuma lihat gambar!" kata papa ngeles setelah kucela. Yah, inilah satu hal berguna yang kupelajari dari papa.Ngeles. Menghindar.

Papa, (mungkin) 30 tahunan. Tubuhnya tinggi, kurus. Semua orang memanggilnya 'tiang listrik'. Kacamatanya besar. Bingkainya berwarna hitam. Tapi papa selalu pilihkan kacamata bingkai merah untukku. Yang juga besar, sampai hampir menutupi mukaku. Meskipun begitu, aku percaya papa. Aku percaya taste-nya. Papa selalu punya selera bagus untuk segala hal. Itu menurutku dulu. Meskipun kalau sekarang kulihat lagi fotoku umur 7 tahun, uh, tolong jangan bicarakan ini, okay?

Aku, sekarang, 22 tahun. kacamataku tidak lagi merah. Papa tak pernah kuijinkan lagi memilihkan kacamata untukku. Tapi badanku masih sama, rata dari atas sampai bawah. Rambutku kupotong pendek, tidak lagi melebihi bahu; poniku masih ada. Ini untuk menyamarkan kelebihan dahiku yang jenong turunan mama. Tubuhku lebih tinggi. Sekarang, papa bukan 'tiang listrik' lagi bagiku. Tinggi kami hampir sama. Padahal, aku ingat sekali papa suka membanggakan tinggi badannya yang hampir 2 meter. "Yah, 25 cm lagi sih, Pah!" pikirku. Sekarang, ini yang dikatakannya, "Wah, tinggi Cia-cia hampir nyusul papa luh!" Hihi. Lihat kan, papa tidak terlalu tinggi lagi sekarang.

Papa, sekarang 51 tahun. Badannya lebih gemuk. Tidak lagi pakai kacamata, karena matanya sembuh secara ajaib, gara-gara baca alkitab terus waktu di penjara. Hebat! "Ini Tuhan yang sembuhin!" kata papa tersenyum lebar, mempertontonkan gigi depannya yang ompong satu. Gigi palsunya sudah tidak dipakai lagi. Hihi. Tidak bisa lagi membuatku (pura-pura) tertawa dengan lelucon gigi palsunya dulu. Tapi papa tetap papa, dia tak pernah kehabisan lelucon, meskipun gigi palsu telah lama dibuang. Cara tertawanya masih sama, cuma hatinya telah berbeda. Sejak ia sayang Tuhan, segala yang ada pada papa dulu terlihat berbeda. Meskipun, tentunya, tingginya tidak berubah.


Yeah, Pa, no matter how tall I've grown, you're always someone I look up to. :)


Sebenarnya, tidak ada alasan khusus aku menulis ini. Tapi inilah topik yang paling kukuasai. Tak pernah bosan aku menulis tentang papa. Papa, seperti apapun dia, tak pernah lepas dari otakku, juga hatiku. Tak heran, apapun yang kucoba tulis, ujung-ujungnya mengarah ke papa.

Sekarang, anak perempuan di seberang mejaku sudah pergi, papanya juga. Tapi aku masih di sini, mengakhiri kalimat terakhir tulisan ini. Yang lagi-lagi, tentang papa.

Pasar Festival, Sabtu, 17 April 2010. 17:01

*Ditulis oleh Viona Patricia, kunjungi cerita lainnya di sini: http://alwaysviona.blogspot.com/

Menulis Papa

Menulis itu mencintai
Menulis hujan berarti mencintai hujan
Menulis awan berarti mencintai awan

Menulis papa
Mencintai papa
Gampang-gampang susah

Gampang karena banyak yang bisa ditulis
Tinggal memutar memori tentangnya
Susah karena memori itu membuatku sedih
Lebih banyak menangis daripada menulis

Air mataku berjatuhan laksana hujan
Tapi selalu ada awan yang menghapus air mataku di pipi
“Tak usah menangis,” katanya, “Kenangan ada bukan untuk membuatmu menangis, tapi semakin mencintai.”

Awan benar
Mengenang papa berarti mencintai papa
Dengan menulis aku mengenang papa
Mencintai papa

*Ditulis oleh Rie Yanti, kunjungi cerita lainnya di sini: http://ceritarie.wordpress.com/

Letter for you

hari itu aku membersihkan semua ujung rumah
aku tau itu yang selalu ingin kaulakukan namun tak pernah sempat
aku mencoba dari titikyang paling berantakan
aku bereskan dan aku tumpuk-tumpuk

sekantong surat-surat itu menarik perhatian ku
selain karena dia tebal, dia juga berat
hemmmm...
ini hanya kantong tapi
aduh isinya banyak sekali

kucoba untuk membukanya
astaga !!!
lucu sekali
semua data dan surat-surat
bahkan bon rumah sakit tempat aku lahir
hihihihihihi
lucu...

karton pink kecil ini, apa ya???
ahhhhh tapak kaki ku waktu bayi
wowwwww
menarik
surat-surat ini semua kau simpan dengan rapi
hampir 25 tahun
dan baru kulihat sekarang???

wow
semua kenangan dan cerita masa kecil ku ada disana
seandai nya aku bisa membuka ini bersama mu
tidak akan pernah berhenti aku memelukmu
tidak akan cukup rasa kaum dan sayangku
cinta kepada mu membuatku gila

kau begitu
begitu..
aku bahkan tak tahu kata-kata yang tepat

seandainya kau masih ada disini
seandainya kau bisa kugenggam

tapi aku tahu, semua tak mungkin
kau ada di atas sana
meski kau tak mampu kulihat
tapi kau ada disini, dekat sekali di hatiku
dan menemaniku kemanapun aku pergi..

papa
aku bahagia
aku bangga,
aku kagum
dan rasa itu tidak akan pernah pudar
seperti sayangmu yang tidak pernah luntur

Bandung, 16 April 2010

*Ditulis oleh Lucille Gunawan, kunjungi juga cerita Lucille lainnya di http://simplycille.blogspot.com/