Friday, March 25, 2011

Jumat, Sore itu

Umurku delapan tahun waktu itu. Sekolah di salah satu sekolah dasar terbaik di kotaku. Papaku bukan orang kaya. Hanya seorang pegawai kecil, dengan hati besar. Ketika anak-anak lain di jemput dengan mobil, aku bangga di jemput dengan motor butut milik kantor. Ketika anak-anak lain dijemput dengan sopir, aku bangga di jemput papa di sekolahku. 
Uang sekolahku mahal. Papa harus banting tulang apalagi gaji pegawai negeri sangatlah kecil. Malam-malam papa mesti merakit, menyusun balok-balok kayu menjadi lemari, kursi, meja rias, sesuai pesanan orang. Subuh papa sudah harus bangun, memberi makan ternak miliknya, yang tak seberapa. 
Jumat, sore itu. Hujan mengguyur deras kotaku. Aku menggigil di gerbang sekolah. Menunggu jemputan, papaku tentu saja. Setengah jam menunggu, papa belum juga datang, ah, hujan deras tentulah menghalanginya. Sekolah mulai sepi. Angin makin kencang, hujan makin deras. Aku mulai ketakutan. Airmata menghangat di sudut mata. Sungguh, aku ketakutan. Papa belum juga muncul.
Lalu. Dari kejauhan kulihat motor butut papa, berwarna merah tua, yang berjalan pelan seperti sepeda. Itu dia, jemputanku. Lalu, papa membungkusku dengan plastik besar, bukan jas hujan,. Hanya plastik besar bekas bungkus furniture. Memakaikan helmnya untukku. Membiarkan tubuhnya di jamah hujan. Sungguh, aku tak perlu mobil. Sungguh aku tak perlu jas hujan. Sungguh aku tak perlu rumah hangat nan mewah. Sungguh aku tak butuh apapun. Aku hanya butuh dia, lelaki sempurna, papaku. 
Ya, Jumat sore yang hangat, belasan tahun lalu. Jumat sore yang hangat, walau hujan mengguyur hebat. Jumat sore yang hangat, karena cintanya. Papaku.

(ditulis oleh @ama_achmad di http://amaachmad.blogspot.com/2011/03/jumat-sore-itu.html?spref=tw)

No comments:

Post a Comment