Hening, hanya terdengar suara gemeretak lirih dari ujung rokok yang terbakar. Kau sangat menikmati setiap hisapan itu. Pandangan mu kosong, namun ku tahu banyak kata yang menari-nari didalam sana. Rambut mu kini semakin habis dimakan usia. Apa yang kau pikirkan ayah? Aku disini, aku selalu disamping mu, berbagilah dengan ku mungkin aku bisa mengurangi beban pikiran mu. Atau bisakah kau meluangkan sedikit waktu untuk mengingat kembali ke masa lalu? Disaat aku masih menjadi gadis kecilmu. Ya anggap saja ini sebagai penghibur mu, jujur aku sangat tidak suka melihat mu termenung seperti itu.
Aku yang penakut, aku yang terlalu ramah akan air mata. Seperti yang pernah dikatakan alm.nenek, kalau perasaan ku sangat halus, aku gampang sekali menangis. Dulu kau senang sekali membuat ku menangis dengan cerita-cerita sedih mu. Aku masih ingat cerita-cerita mu itu ayah. Kau bercerita kalau kau pernah menjadi tukang parkir, tapi tidak ada satu orangpun yang memarkirkan kenderaannya di tempat mu. Kau sibuk memanggil orang-orang untuk parkir disana tapi tidak ada yang mau. Matahari begitu menyengat saat itu, kau haus, tapi kau tidak punya uang untuk membeli air mineral, lalu kau meminta segelas air putih kepada pedagang kaki lima yang ada disana, tapi apa yang kau dapat? Segelas air kotor bekas cucian piring. Seketika tetesan itu jatuh, aku berlari ke kamar dan menangis tersendat-sendat. Lalu kau datang menghampiri ku dan menggendong ku sambil berkata “kok nangis, ayah tidak apa-apa” aku memelukmu seerat mungkin, ku dengar tawa kecil dari bibir mu, dan tanganmu terus mengelus-elus rambutku.
Ah, tidakkah kau ingat itu ayah? Dan kau melakukan itu berulang kali. Ketika kita berkumpul diruang tamu, ketika tawa membahana diruang tengah itu, lalu tiba-tiba kau menceritakan itu kembali, dan pada saat itu juga aku langsung menutup telinga lalu mengomeli mu untuk berhenti bercerita. Umur ku masih 5 atau 6 tahun saat itu, dan dengan polosnya mempercayai cerita-cerita mu yang menyedihkan itu.
Apa itu? Apa yang ku lihat? Ah kau tersenyum! Aku berhasil membuat mu tersenyum. Bagaimana? Kau terhibur? Atau ingin aku bercerita kembali? Membuka cerita lama antara kau dan gadis kecilmu. Tapi sepertinya kau akan kelelahan membacanya, karena begitu banyak yang ingin aku ceritakan. Bagaimana kalau aku meminta sedikit waktu mu disore hari? Dengan secangkir teh hangat, dan dengan semangat aku bercerita kepadamu. Aku dapat melihat sorot mata mu dengan jelas, yang biasanya hanya melihat mu dari kejauhan duduk termenung sendirian. Dan aku juga dapat langsung memelukmu ketika mata ini tak mampu menahan air itu jatuh ketika bercerita.
Sekarang gadis kecilmu telah beranjak dewasa, dan akan ada seseorang yang akan menggantikan mu kelak. Seseorang yang akan menjaga gadis kecilmu yang dulu. Dan jika Tuhan berkehendak, aku ingin kau dapat melihat cucu-cucu mu yang lucu nantinya. Lalu kau akan menceritakannya kembali kepada mereka, sama seperti yang kau lakukan kepada ku. Kita semua berkumpul, dan serentak tertawa melihat cucu mu yang terisak menangis mendengar cerita mu.
Hah.. sepertinya aku sudah terlalu banyak berkata-kata. Kasihan mata mu, pasti dia sudah lelah membaca. Baiklah ayah, aku akan menunggu sore itu, tidak harus esok atau lusa, tapi kapanpun itu ketika kau ada waktu aku pasti bersedia dan bersemangat untuk berbagi cerita denganmu.
Ayo seka air mata mu, tersenyumlah, aku menulis ini bukan untuk membuat mu menangis :) .
AKU SAYANG AYAH
(ditulis oleh Yu Ra di http://cahaya-cendrawasih.blogspot.com/2011/03/surat-untuk-ayah.html)