Wednesday, March 23, 2011

Hanya Sebuah Guratan (Anak Perempuan dan Ayah)

Mengingat segala cerita yang pernah dilalui bersama Ayah. Selama 19 tahun saya hidup, saya telah banyak belajar dari Ayah. Ayah yang selalu menjadi sosok pria-idaman saya di masa datang kelak. Ayah saya sama rupanya dengan kebanyakan bapak-bapak di luar sana. Berkumis tebal, dengan rambut beruban, badan tinggi tegap dan sedikit bermasalah dengan kolestrolnya. Kalau dibilang Ayah saya orang yang jadul, memang benar. Beliau sudah berkepala 6 sekarang dan saya masih belum pas menginjak 19 tahun.

Orang banyak melihat Ayah sebagai orang yang disegani, serius dan tegas dalam mendidik keluarga tapi sebenarnya Ayah orang yang lembut, romantis dan kadang suka usil. Ayah selalu mendidik dengan cara yang disiplin, tidak banyak bicara, dan membiarkan anak gadisnya mandiri (walaupun sebenarnya Ibu tahu bahwa saya anak yang sangat teledor). Kadang saya suka cemberut melihat tingkah Ayah yang selalu terkesan kaku, tapi saat jalan berdua saja dengannya (ini kejadian langka dalam hidup saya) beliau seperti anak muda yang masih senang akan tantangan. Beliau mengajarkan saya cara menikmati secangkir kopi hitam hangat, beliau juga mengajarkan (secara tidak langsung, mengajak) memasak, mengajarkan cara berpikir kritis, menikmati hidup dan cara melihat hidup dengan cara sederhana.

Di usianya yang sudah pensiun banyak hal yang masih diperjuangkannya termasuk masalah financial keluarga yang masih dipikir keras olehnya, tujuannya jelas, membawa saya hingga tamat dari bangku perkuliahan lalu berangan menikmati hidupnya bersama Tuhan dan alam. Itu tujuannya untuk 3 tahun ke depan ini. Harus berjuang keras di usia senjanya demi menopang kebutuhan saya yang notabene untuk seorang anak perempuan yang merantau di kota metropolitan mungkin agak sedikit “ribet”. Beberapa tahun belakangan ini, saya telah berani mengungkapkan rasa cinta saya kepada sang Ayah. Sekali-kali terkesan agak romantis agar hatinya sedikit luluh dan berharap rambut di kepalanya tidak menjadi putih semua J 25 Februari lalu saat Ayah telah menginjak usia 63 tahun, saya pulang ke rumah dari perantauan hanya untuk mengucapkannya “Selamat Ulang Tahun” secara langsung dan memberikannya kue bertuliskan angka 36 (biar tetap terlihat anak muda). Saya harap semua keinginan Ayah, 3 tahun lagi beliau dapat menikmati usia senjanya dengan bebas. Menikmati pagi hangat di hutan bersama kicau burung dan memancing setiap hari. Semoga semua segera terwujud.

(oleh finalfina di http://iamlabile.wordpress.com/2011/03/23/hanya-sebuah-guratan-anak-perempuan-dan-ayah/)



Catatan Satu Mei

Sekitar 20 tahun lalu Ia masih berjalan tegak, tersenyum penuh kebanggaan saat diketahuinya saya hadir, sehat dan bahagia. Dengan kedua tangannya yang kuat Ia menggendong saya, mengitari rumah berkeramik kuning tua itu. Menghirup udara pagi sejuk yang penuh aroma pinus di Hegarmanah. Membantu ibu saya yang letih karena lemah. Melupakan stress pasca pensiunnya karena Ia mendapat hadiah yang tak terkira. Hadiah itu adalah saya, begitu selalu ujarnya pada saya.

Saat itu usianya 59 tahun, dan saya berumur 1 tahun.
Baru pertama kali melihat dunia.

Saya bermain dengannya di halaman rumah tua kami yang luas.
Yang aromanya sepanjang yang saya ingat berbau seperti kertas-kertas lama. Ia menarik saya di atas pelepah daun kelapa, Ia mengajari saya menaikkan layang-layang, dan bahkan mengajarkan saya berdansa cha cha dan waltz. Terkadang bernyanyi Jepang yang saya tak mengerti maknanya. Mengobrol bahasa Belanda dengan Pak De dan Bu De saya. Lalu mendongengkan cerita dengan bahasa Jawanya. Dongeng Bitutunu dan Si Buto Ijo pengantar tidur.

Hampir setiap malam, saya tertidur di sampingnya. Terkadang saya digendongnya pindah ketika saya ketiduran dan merepotkan ibu saya yang sedang sakit. Ia lalu menemani saya hingga jauh pagi. Membukakan jendelanya yang besar dari kayu, dan membiarkan saya menghirup aroma pinus di pagi hari.

Ia membantu saya menyortir buku-buku bergambar bekas kakak-kakak saya untuk dibawa ke perpustakaan kecil di sebelah rumah. Setiap Minggu pagi saya akan sedia dan berlari menuju perpustakaan itu untuk menukar buku bergambar saya dengan yang lain. Pukul sembilan Ia akan menjemput saya dan mendengarkan ocehan saya tentang apa telah saya lihat.

Di hari-hari kerja, saya selalu menangis di depan pintu meratapi ibu saya yang berangkat kerja.

Namun, Ia selalu membuat saya tertawa lagi. Banyak hal yang kami berdua lakukan ketika di Ibu pergi kerja dan kakak-kakak bersekolah. Hanya saya dan Ia yang tahu. Kami membangun dunia kami sendiri.

Sorenya, ketika tiba waktu Ibu pulang kerja, Ia menyalakan mesin Corona putih D 403 BVnya, dan mendudukkan saya yang mulai uring-uringan ingin bertemu ibu di jok sampingnya. Lalu kami pergi ke kantor ibu. Ia akan melaju kecepatannya, dan saya akan berdiri di sampingnya, berlagak terbang.

Rupanya Ia juga rindu pada Ibu saya.

Lalu, saya mulai merasa aneh, kenapa rumah saya sepi sekali.Kakak-kakak seperti sibuk dengan dunianya masing-masing. Yang satu setiap hari pergi di pagi hari dan baru pulang sore sekali dengan tumpukan kertas yang banyak. Setiap hari selalu bilang ujian dan tugas. Dan yang satu lagi pergi di pagi hari juga, namun selalu memakai pakaian yang sama setiap hari. Atasannya kemeja putih, dan bawahannya celana pendek biru. Dan bila pulang di sore hari badannya dekil sekali, lalu segera tertidur. Ketika itu Ia juga ada untuk saya, menghilangkan hari-hari sepi yang tidak saya mengerti konsepnya. Tak mengerti kenapa yang lain selalu pergi sedangkan Ia selalu ada.

Saat itu saya tak mengerti istilah pensiun.

Tak berapa lama, Ibu saya berhenti bekerja. Saya bahagia tak terkira. Dia juga. Kami berdua diam-diam merayakan bakal kehadiran Ibu di setiap harinya. Tak terhingga kebahagiaan kami karena orang yang paling kami sayangi akan selalu ada nantinya.

Mungkin Ia juga sedikit lega karena takada lagi tangisan saya di depan pintu setiap Ibu harus berangkat kerja. Ia tak harus lelah menggendong saya untuk menenangkan saya lagi. Ia akan bisa tidur siang lagi tanpa harus menunggui saya yang susah sekali disuruh tidur siang. Ia juga bisa membaca Koran di sore harinya dengan tenang tanpa harus memenuhi permintaan saya untuk menjemput ibu.

Ketika saya mulai bersekolah, Ia dengan setia selalu menjemput saya dengan Corona putihnya. Saya masih ingat tangan tuanya yang kuat menyetir di samping saya. Terkadang kami berjalan pulang melalui jalan Terobosan. Melewati jalan yang saya ingat seperti lembah dengan pohon-pohon besar dan akar gantung. Terkadang bila Ia lelah, bergantian dengan Ibu mereka akan menjemput saya pulang. Bila ibu sakit, Ia akan mengurusi berbagai keperluan saya. Ia menjemput saya ketika saya nakal dan saya masih ingat dengan matanya yang tegas.

Bila Ia marah saya takut sekali. Lalu saya akan dihukum berdiri di tengah ruang tamu sampai sore. Ibu pun tak berani melawannya.

Lalu dimulailah masa-masa dimana ternyata Ia dan Ibu mulai kesulitan, rumah tua kami yang ramah dijual. Saya akan merindukan halamannya yang luas, pohon-pohon pinus yang wangi dan indah, udara sejuk yang ramah, pelepah-pelepah daun kelapa permainan saya bersama dia, jendela besar yang selalu dibukakan olehnya setiap pagi, dan aroma kertas tua di rumah tua kami. Saya hidup selama kurang lebih delapan tahun disana. Delapan tahun penuh kebahagiaan dan keramahan yang paling alami yang pernah saya rasakan sepanjang hidup saya.

Kami pindah ke daerah Dago pada sisa tahun itu. Dan sejak saat itu, saya selalu yang paling akhir dijemput di sekolah saya. Ia mulai kelelahan menyetir jauh. Dan saya mulai kesal. Saya tidak mau mengerti. Lalu tak berapa lama kemudian kakak saya yang pertama menggantikan posisinya. Ia berhenti menjemput saya dari sekolah. Kini setiap hari, kakak sayalah yang menjemput. Saya sedikit kehilangan, karena tak ada lagi tangan tua yang kuat menyetir di samping saya lagi.

Lalu ketika saya sakit dan harus meminum obat puyer pahit berwarna merah selama tiga bulan berturut-turut, ia yang selalu memerintah saya dengan tegas. Saya takut, dan dengan sekejap obat itu telah habis saya minum.Selama tiga bulan saya dicekoki pengetahuan kesehatan olehnya. Saya kesal sekaligus sayang padanya. Toh, tenggorokan saya yang meradang akhirnya sembuh juga. Dia ikut senang karena saya tidak harus minum obat lagi. 

Sekitar 10 tahun yang lalu, Ia yang mulai kelelahan selalu membuka jendela besarnya (yang dibawanya dari rumah tua kami) di pagi hari. Sayang sekali di rumah kami yang baru tak ada lagi pohon pinus yang wangi, namun tepat didepan jendela besarnya itu Ia menanam beberapa tanaman yang berhasil di stek-nya dari halaman rumah tua kami dulu. Dan Ia menghirup aroma paginya. Ia akan berjalan pelan-pelan di bawah sinar matahari pukul delapan atau sembilan sambil memetik daun-daun kering di tanamannya. Menyapa tetangga-tetangga yang lewat dengan ramah, dan mengambil Koran dari teras. Bila hari Minggu tiba, saya akan diajaknya mengikuti rutinitasnya, walau terkadang saya lebih memilih tidur di kamar saya sampai siang.

Lalu Ia akan mengajak saya memancing semut dan bermain undur-undur di halaman rumah baru kami yang kecil. Bila sore hari tiba, saya diharuskan membawakan sepoci teh yang harus disajikan dengan istilahnya yang disebut nasgitel atau panas, legit, dan kentel. Lalu ia akan memasang film-film kartun di TPI. Walau saya memaksa saya ingin menonton MTV di Antv. Dia tidak akan bergeming dan akhirnya saya akan menonton Mojacko dan si Unyil.

Di ulang tahun saya yang ke-9, Ia dan Ibu membelikan saya sebuah electone. Ia ingin saya bisa memainkannya, dan saya diberi les privat. Kemudian, ketika saya telah bisa memainkan “Song Of The Beach”, dengan gembiranya Ia meminta saya memainkan lagu itu terus dan Ia bernyanyi di samping saya. Suaranya merdu sekali.

Ketika saya menangis karena bermasalah dengan sekolah saya, Ia akan duduk disamping saya dan dia menceritakan pada saya tentang perjuangannya dulu sebagai tentara pelajar saat melawan Jepang. Saat itu saya merasa bangga dan melihat masalah saya dari sudut yang lain. Saya merasa malu menangis karena Ia adalah pahlawan. Dan sangat memalukan saya menangis di depannya. Tak jarang saya berbeda pendapat dengannya, betapa saya merasa Ia sangat kuno dan ketinggalan zaman. Disaat teman-teman saya berlibur dengan keluarganya ke tempat-tempat yang keren dan jauh, disana mereka akan mandi matahari, atau berjalan-jalan sampai lelah, maka saya hanya akan duduk di rumah, membicarakan tata krama, nonton film kartun sepanjang sore, bermain undur-undur, dan ‘medang’(minum) teh nasgitel karena Ia terlalu tua dan lelah. 

Ibuku akan duduk setia di sampingnya dan Ia akan mendongengkan wayang untuk saya.

Saat saya kecil hingga saat itu, saya punya kebiasaan unik, yaitu saya selalu menatap lekat-lekat punggung Ia dan ibu setiap kali mereka tertidur hanya untuk memastikan bahwa mereka bernapas. Karena entah kenapa saya takut mereka memiliki kesempatan itu lebih banyak dari apa yang mungkin teman-teman saya miliki.

Dan ketika waktunya tiba. Ia bahkan tidak tidur di samping saya lagi. Saya tidak sempat memperhatikan punggungnya lekat-lekat. Yang ada di sampingnya hanya sebuah mesin, dan saya hanya berdiri di luar ketika napas itu hilang. Malam itu saya hanya melihatnya tersenyum pada saya. Tersenyum pada ibu, dan pada kakak-kakak saya. Saya tidak melihat napasnya di punggungnya yang lelah. 


Saat itu usianya 75 tahun. 
Dan saya hidup dengannya selama 15 tahun lebih 8 bulan. 
Itu terakhir kali Ia melihat dunia. 

Dia adalah ayah saya.



[Untuk ayah saya yang
tercinta, 1 mei 1928- 1 Mei 2008

Happy birthday,Pa!!]







Saya dan Ayah

saya punya abang, nama abang saya Deno.
saya punya kakak, nama kakak saya Dini.
sedangkan nama saya Windy.
berkat perbedaan nama tersebut, abang dan kakak sering bilang,
"kau itu anak pungut. buktinya nama kau beda sendiri"

saudara-saudara juga sering bilang,
"kok nama windy beda sendiri ya? kenapa ga Dina atau apa kek? jangan-jangan windy bukan anak ayah?hahahaha"

selayaknya anak kecil biasa yang belum mengerti apa-apa, perkataan-perkataan itu jadi pikiran saya. mungkin waktu kecil uban pernah tumbuh dikepala saya karena saya banyak memikirkan perkataan saudara-saudara saya.

belakangan (bertahun-tahun kemudian (bayangkan ada berapa helai uban dikepala saya!)) saya menyadari, saya dan ayah punya banyak kesamaan.
antara lain :
saya dan ayah sama-sama berkulit coklat kehitam-hitaman.
saya dan ayah sama-sama suka sok tau.
saya dan ayah sama-sama tidak suka menunggu kalau sedang lapar.
saya dan ayah sama-sama suka beli barang yang sebenarnya tidak berguna.
saya dan ayah sama-sama suka lagu Boyzone.
saya dan ayah sama-sama suka nonton TV sambil nganga.
saya dan ayah sama-sama kalau ketawa suaranya bisa kedengeran sampe RT sebelah.
saya dan ayah sama-sama tempramen dan melampiaskan kemarahan sama siapa aja walaupun sebenarnya orang itu ga salah.
saya dan ayah sama-sama gampang masuk angin.
saya dan ayah sama-sama ga suka disuntik.
saya dan ayah sama-sama suka garing kalau sedang bercanda, kalau saya dan ayah sedang bercanda kami bisa bikin pabrik kerupuk.
saya dan ayah sama-sama suka kue putu, biarpun ayah ga pernah menjelajahi jalan picung demi kue putu.
saya dan ayah sama-sama bisa tidur kapan aja dan dalam posisi apa saja.

tapi,
saya dan ayah juga punya banyak perbedan.
kalau tidur ayah ngorok kencang sekali, sampe mama harus pingsan dulu baru bisa tidur disamping ayah, sedangkan saya tidak.
menurut ayah, perempuan merokok itu rendahan, sedangkan menurut saya, perempuan merokok itu keren, biarpun saya bukan perokok.
ayah suka band zivilia, sedangkan saya tidak.
ayah punya sifat pemberani, sedangkan saya tidak.
kalau ayah sudah mengambil keputusan, tidak ada orang yang boleh komentar apalagi tidak setuju, sedangkan saya selalu ingin berpendapat.

saya dan ayah ternyata punya banyak perbedaan.

tapi satu persamaan saya dengan ayah yang membuat semua perbedaan jadi tak berarti, yaitu:
ayah sayang saya dan saya sayang ayah.
benarkan, yah?

(oleh @windymariam di http://windymariamputri.blogspot.com/2010/07/saya-dan-ayah.html)

Tuesday, March 22, 2011

My Dad, My Hero

Banyak cerita bagaimana seorang Papa menjadi “pahlawan” bagi saya. Mungkin sama seperti @perempuansore, dia adalah cinta pertama. Dan saya selalu mengatakan bahwa suatu hari nanti suami saya harus seperti Papa. Sulit mungkin menemukan laki-laki yang gigihya seperti beliau, di luar sifat perfeksionis dan keras kepalanya.
Mari flashback ke beberapa tahun yang lalu, di saat saya masih menggunakan seragam putih abu. Papa dengan setia membangunkan saya dan si adik, membuatkan kami bekal, dan mengantar serta menjemput kami berdua. Setiap hari.
Suatu hari Papa datang menjemput ke sekolah dengan raut wajah yang agak berbeda. Saya yang kesal karena dijemput terlambat, seperti biasa juga ngomel-ngomel dan ngedumel kecil. Lalu Papa bilang, kalau Papa baru saja ditabrak motor di perempatan jalan Pasirkaliki, lututnya berdarah dan di beberapa bagian motornya penyok. Saya tercengang kaget. Beliau bisa saja menelepon saya dan meminta saya untuk ke rumah sakit, tapi Papa ternyata masih melanjutkan perjalanannya ke sekolah untuk menjemput saya. Hari itu saya lupa bilang, “terimakasih ya Pa.. aku sayang banget sama  Papa. Maaf kalau aku udah marah-marah.”
My Dad, My Hero. Yes. Indeed. Papa dengan segala rules-nya, dengan segala sikap protektifnya, dan kalau saya membantah, dia biasanya bilang: “coba kalau kamu jadi orang tua, kamu pasti tau kenapa Papa bikin aturan kayak gini.”
Banyak cerita tentang Papa, tapi pastinya banyak juga air mata yang akan terkuras setiap mengingat bagaimana Papa lagi, dan lagi menjadi seorang pahlawan dalam hidup saya.
Ich vermisse dich, Papa.

My Pure Expression

sebenernya ini tulisan lama, kira kira pas gw semester satu hehe sekarang alhamdulillah akan menginjak semester tiga dalam waktu beberapa minggu ini.

gw cuma mau nulis apa yang ga bisa gw ungkapin..
haha gaya ya gw, tapi memang begitu adanya. Gw jarang sekali bisa mengungkapkan apa yang gw rasain, terlebih klo itu menyangkut orang tua gw, yaa mungkin sifat kurang terbukanya gw ini yang bikin gw sering dianggap sebagai orang yang cuek hehe

Jadi gini ..
setelah gw membaca buku keduanya ANDY F. NOYA, dari sekian macam bagian kehidupannya om andy, ada satu bagian yang gw suka, bagian dimana om andy menceritakan tentang AYAH. Dibagian tersebut ada kata-kata yang menurut gw lumayan menyentuh..

Om Andy : "Hidup begitu singkat. Kadang kita merasa tidak saling membutuhkan, tidak saling mencintai, sampaimaut akhirnya memisahkan kita. Akan lebih berarti wujud cinta yang kita perlihatkan pada orang orang tercinta ketika mereka masih hidup, ketimbang air mata yang tumpah dipusaran yang tidak lagi bermakna"

Ayah..
sosok laki-laki berumur 50tahun keatas, dengan muka yang mulai berubah menjadi kerutan-kerutan yang menggambarkan betapa ia sudah semakin tua. Banyak kejadian yang gw alami bersamanya, entah berapa banyak. Tapi tak pernah sekalipun gw mengatakan "kana sayang ayah". Miris bukan ??
Anak macam apa gw, untuk mengatakan hal seperti itu aja gw ga bisa, gw malu, seakan-akan gw ga peduli. Yaa gw tau kenapa gw seperti itu, karena gw menganggapnya dengan atau tidaknya gw mengatakan hal tersebut, toh tidak akan mengubah apa-apa.

Gw selalu iri disaat gw melihat teman-teman gw yang bisa bencengkrama sebegitu bebasnya dengan ayah mereka, bisa berjalan-jalan bersama, bisa menggandeng tangannya, atau hanya sekedar mencium kedua pipinya. Tapi gw ga mau bohong, gw pun pernah melakukan hal-hal tersebut, gw pernah menggandeng tangan beliau tetapi hanya ketika kami akan menyebrang jalan, gw pernah mencium kedua pipi beliau tetapi hanya ketika kami selesai melaksanakan sholat berjamaah atau ketika beliau hendak pergi dinas. Yaa hanya tetapi, tetapi dan tetapi.

Dalam hati ini berkata : " Kana sayang ayah, walupun tidak pernah sekalipun aku mengucapkannya, sayang aku ke Ayah sama besar dengan sayang aku ke Mamah, Gigih dan Abi. Terima kasih sudah menjadi bagian terpenting dalam hidup aku. Ketika datang saatnya nanti, Insya Allah aku akan membahagiakan mereka ya ALLAH. "
Amin

Ayah Tak Pernah Menangis

Membaca project anak perempuan dan ayahnya, jadi teringat saat waktu yang panjang bersama ayah selama beberapa puluh tahun ini. Ayah selalu memperlakukan aku sebagai putri kecilnya meskipun sekarang aku telah tumbuh menjadi seorang gadis dewasa. Ia selalu mengirimkan pesan pendek ataupun menelfonku ketika aku belum kunjung pulang kerumah padahal hari sudah malam. Ia selalu masih mencium dahiku ketika ia hendak pergi bekerja. Ia juga masih selalu memanjakanku ketika aku sakit dan selalu mempermainkanku seakan aku adalah gadis kecilnya yang berumur 7 tahun .

Sangat hangat sekali punggungnya, saat ia menggendongku yang sakit dengan paniknya, punggung yang hangat dan nyaman yang selalu aku rindukan setelah aku sadar sekarang ayah tak mungkin menggendongku lagi karena aku sudah tumbuh besar. Ayah selalu bilang ia tak akan pernah menangis setelah masa kecilnya yang menyedihkan telah banyak membuatnya menangis di dalam hati. Ia adalah ayah yang hebat, ayah yang dibesarkan oleh seorang ibu single parents yang ditinggalkan ayahnya. Aku masih ingat ketika ayah bercerita masa kecilnya yang menyakitkan ia tersenyum, dan berkata padaku "ayah tidak akan membiarkan kamu merasakan hal yang pernah ayah rasakan dulu, ayah tak akan pernah meninggalkanmu". saat itu aku yang menangis, aku memeluknya tapi ia hanya berkata, jangan cengeng ayah disini, dan ayah tak menangis.

Aku masih ingat saat aku sakit, tubuhku tak bisa digerakan dengan normal karena pembekuan darah, mama membawaku ke RS, saat itu ayah tak sedang dirumah dan mama menelfonnya untuk segera datang ke RS. Aku yang merasa antara hidup dan matipun ingin sekali melihat kedua orang tuaku ada ditempat agar apabila tuhan mengambil nyawaku saat itu aku tenang ada kedua orang tuaku disana. dan tak lama ayah datang. Keringat di dahinya dan tanggannya yang kedinginan menggenggam tanganku. Aku mengucap satu kata saat itu ku katakan "ayah". Ia kemudian melepaskan tangannya dariku, dan pergi entah kemana bersama ibuku ketika perawat itu membawaku keruangan lain.

Setelah aku sembuh, mama yang menungguiku, ia berkata, "aku baru pertama kali melihatnya menangis, ketika kau sakit". aku terhentak, ayahku yang tak pernah menangispun menangis karnaku saat itu?. "ia merasa gagal ketika melihat kau terbaring tak berdaya dirumah sakit ini, ia merasa tak berguna ketika tidak bisa membuatmu lebih baik". mama berbicara lagi padaku.
aku terdiam dan menangis, "ayah" ingin sekali kau ada disini, ingin sekali aku meminta maaf telah membuatmu kawatir sampai kau menangis, Tuhan aku ingin sekali memeluknya.

Dan kau tau apa doanya saat itu, ia berdoa pada tuhan "pindahkanlah rasa sakit yang anakku rasakan padaku, aku sangat iklas". Ayahku yang tak pernah menangis, kau tau, aku sangat mencintaimu terlebih dari kau mencintai aku. Terima kasih telah menangis untukku, ayah.


25 Tahun

Jam dinding baru saja berdentang 12 kali. Sudah berganti hari rupanya. Sudah jadi 21 maret. Ah, ini hari kesukaanku.

Sudah 25 tahun sejak 1986.

Sekarang ini sudah masuk tahun ke-25ku. Rasanya tak banyak berubah. Aku masih berteduh dibawah atap yang sama dengan Romo. Sama seperti pada tahun 1986. Juga seperti di tahun 2000 kemarin. Tapi pada kenyataannya, sudah ribuan detik yang berlalu. Dan banyak yang tak lagi sama.

Satu yang tak berubah. Aku masih dan selalu jadi anak perempuan kecil Romo. Yang selalu mencari dan memanggil Romo. Masih jadi anak kecil manjanya Romo.

Sudah 25 tahun Romo terus bimbing aku. Di wajahnya se karang sudah mulau tampak raut-raut lelah. Tapi belum pernah aku lihat beliau putus asa. Aku iri dengan keteguhan hatinya. Aku sendiri mungkin sudah akan menyerah saat tersandung batu pada langkah ke-10 dari ribuan langkah perjalanan panjang yang harus aku tempuh.

Aku sering sekali ingin menangis melihat gurat-gurat letih beliau. Rasanya ingin aku gantikan saja posisinya. Biar Romo bisa bersantai saja dirumah. Bermain rubik, atau bercanda dengan kucing-kucing kesayangannya. Tapi nyatanya, sampai hari ini aku masih belum bisa. Aku masih lemah. Aku masih gagal.

Ah, mengingatnya saja sudah membuatku berlinang air mata.

Romo itu tempat berlabuhku. Entahlah bagaimana jadinya aku tanpa beliau. Mungkin jalanku akan terseok-seok. Aku pasti tersesat di dunia ini. Kalau tanpa tuntunannya, dan 25 tahun hidupku yang sudah dibangunnya dengan sempurna, aku pasti sudah terkapar, tak berdaya, duduk menangis meraung-raung di tepi jalan. Kehilangan arah. Tak punya petunjuk. Aku tidak mau melepaskan genggaman tangannya. Tidak hari ini, tidak juga besok. Sampai kapanpun juga tetap tidak. Tak peduli berapapun usiaku nanti.

Di mataku, Romo masih tetap tampan, masih gagah. Begitu aku selalu memandangnya. Selalu buat aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada keabadian cintanya yang ditumpahkan padaku. Aku ingin terus bisa menjaga cinta itu. Selamanya. Terhitung sejak denyut nadiku yang pertama, hingga yang terakhir.

Ada tidak ya yang mencintaiku seperti Romo? Apa ada yang bisa membuat aku merasa dicintai dan menjadikan aku ingin terus mencintainya tanpa henti seperti yang aku selalu rasakan dari Romo? Kalau ada, aku akan kenalkan pada Romo. Dan aku akan genggam tangannya tak kalah erat dengan milik beliau.

Ini 21 maret 2011. Ini ulang tahunku yang ke-25. Rasanya aku ingin memeluk beliau, lalu mengatakan, "Aku sayang Romo. Terimakasih sudah membuat roda kehidupanku terus berputar tanpa henti."