Ijinkan saya memperkenalkan seorang pria yang selalu ada di hati saya sekalipun nanti saat saya sudah menikah. Namanya Abdul Ilhamudin. Seorang teladan iman yang menyandang julukan Mister Praise God. Julukan itu didapatnya karena sewaktu ia berjuang melawan penyakit ganas itu dan ada orang yang menjenguk sekaligus bertanya, “apa kabar Pak?” Ia akan langsung menjawab,”Praise God”.
Masih jelas dalam ingatan hari itu Rabu tanggal 23 Maret 2005. Seragam putih abu-abu menjadi saksi ada hujan deras di mata saya kala itu. “Ka,papa sakit kanker getah bening”. Satu kalimat yang meluncur dari mulut mama sudah sanggup meruntuhkan ketegaran hati yang saya miliki. Beku seperti patung saya berdiri tapi hati saya tidak beku. Ia malah seperti es yang mencair tak terbentuk. Dengan pelan saya mencoba masuk ke kamarnya. Ia baru saja pulang dari rumah sakit setelah beberapa hari dirawat. Tubuhnya lemas dan tertidur pucat. Saya hanya bisa duduk menatapnya dengan pandangan kosong. Pikiran saya langsung terpolusi dengan kecemasan dan ketakutan. Belum lagi pertanyaan yang melompat keluar dari hati saya, kok bisa sih dia sakit? Setau saya, papa orang yang hidup dengan pola makan sehat dan teratur. Olahraga ia jalankan dengan baik. Tak pernah merokok dan tidak punya hobi minum mabuk. Lalu kenapa penyakit ganas ini bisa tinggal tenteram dalam tubuhnya? Nalar manusia saya beraksi.
Beberapa bulan kemudian adalah keputusan yang sangat sulit karena saya harus meninggalkannya untuk pergi melanjutkan kuliah ke Bandung. Seperti tak peduli dengan kondisi tubuhnya, ia memaksa untuk ikut mengantar saya. Ia ingin melihat sendiri dimana saya akan tinggal dan memeriksa bahwa barang-barang yang saya butuhkan telah lengkap tanpa cela. Ia adalah pribadi yang selalu memastikan bahwa anak-anaknya mendapat yang terbaik. Hari itu tiba, diiringi senyum dan pelukan kami terpisah jarak.
Memasuki bulan Desember kondisi papa sempat memburuk. Ia harus dibawa ke rumah sakit untuk melakukan pengobatan. Persiapan perayaan natal dan atmosfir harapan membuat kami semua tetap tenang dan berusaha memberikan yang terbaik untuk papa. Kami sepakat untuk membawa suasana natal di kamar yang dihuni papa. Pohon natal pun disiapkan. Saya tiba di Jakarta tanggal 21 Desember. Saya membuat sebuah hadiah untuknya. Hadiah yang saya buat sendiri dengan bantuan teman-teman kost saat itu. Sebuah poster besar bertuliskan Merry Christmas Pa! We love you! Ditambah foto papa di pojok poster itu. Saya masuk ke kamarnya sambil membawa poster dan memeluknya erat. Ia hanya tersenyum lemah sambil berujar dengan payah “terimakasih ika”.
Tak ada firasat apapun kalau dua hari lagi kami akan benar-benar terpisah. Tanggal 23 Desember 2005, tubuhnya semakin lemah dan ia harus dipindahkan ke ruang ICU. Kalimat terakhir yang Ia ucapkan dengan bibir yang bergetar adalah, “ I love you ika”.
Seumur hidupnya ia tak pernah membiarkan saya ada dalam kesedihan. Saat saya menangis papa selalu punya cara untuk membuat lesung pipi saya kembali terlihat. Tapi hari itu ia seolah membiarkan saya menangis dalam satu kesedihan yang mendalam untuk belajar menerima sebuah perpisahan badani yang merupakan awal dari sesuatu yang kekal.
Saya kehilanganmu Pa! Saya kehilangan pribadi yang selalu menelpon telepon genggam saya setiap hari hanya untuk bertanya, “ika ada dimana?”. Saya kehilangan orang yang mengiringi saya bernyanyi dengan petikan gitar. Saya kehilangan orang yang setiap pagi menumpangkan tangannya di atas kepala saya tanda ia memohonkan berkat untuk anak-anaknya. Saya kehilangan seorang yang akan menggandeng tangan saya saat nanti berjalan di hari pernikahan. Saya kehilanganmu Mister Praise God.
D’. 290311.
(Ladhriska Hamdana Putri)
No comments:
Post a Comment