Yang ku ingat kenangan terakhir bersamanya adalah ketika aku merengek minta uang jajan, sambil menduduki kedua ujung kakinya yang menjuntai di kursi ruang tamu. Aku tidak ingat berapa usiaku. Cangkir besar yang bapakku miliki, itupun sangat melekat dalam ingatan. Aku suka memperhatikan, bagaimana bapak menghabiskan kopi atau tehnya di waktu santainya sepulang dari rumah sakit. Sepertinya setiap regukan kopi dari cangkir besar itu sangat nikmat. Aku pernah meminta satu regukan darinya. Rasanya pahit tapi manis. Begini ya, rasa kopi kental asli. Bapak biasanya menyulut rokok kretek favoritnya, teman minum kopi. Wangi asap rokoknya harum, tidak seperti yang mengepul di dalam bis atau angkot.
Suara motor Suzuki klasiknya selalu membuatku ketagihan untuk sekedar berkeliling kampung, persis saat bapak sampai di rumah. Bapak tak pernah menolak saat aku dan kakakku meminta dibonceng berkeliling, padahal mungkin bapak sangat capek. Betapa nikmatnya, duduk di atas tangki bensin merah itu, kakakku dibelakang. Pandanganku sesekali tertuju pada speedometer dan aku selalu ingin memijit klaksonnya yang bersuara khas. 5 menit berkeliling kampung, cukup menghiburku dan kakak di setiap sore. Ah, ternyata benar…suasana sore itu sangat hangat.
Aku perhatikan, bapak selalu memakai minyak rambut saat menyisir rambutnya dengan gaya Elvis Presley. Wangi Lavender itu selalu membuat aku kangen. Hingga hari ini…
Caranya berpakaian sangat matching, gaya itu menurun padaku. Apapun ingin selalu matching. Bapak rajin menyapu halaman depan. Membakar sampah saat subuh, itu kebiasaannya. Bapak melakukannya kadang sambil menunggu serabi oncom matang, yang dijual si bibi langganan kami, di pertigaan jalan utama dekat rumah. Aku perhatikan, bapak juga berbincang dengan tetangga yang kebetulan sedang mengantri membeli serabi. Bapak kok ramah ya… Aku tidak seperti itu pada teman perempuanku. Lain halnya dengan teman laki – laki, aku bisa akrab dengan mereka. Tapi sekarang, aku bisa ramah seperti mu, bapak. Andai kau melihat perubahanku sekarang.
Aku tidak tomboy lagi, walau tetap suka menantang bahaya, ngebut naik motor. Gaya berpakaianku rapi, sepertimu. Itu kata mama. Mama bilang, “neng, meni ciga bapak. Nanaon teh kedah rapi jeung mecing.” (=neng, kok persis bapak. Apapun harus serasi.) Aku mewarisi kecerdasanmu, walau aku pernah mogok sekolah karena gengsi. Andai kau melihatku seperti sekarang ini, bapak… Aku mulai rajin menulis apa saja yang aku rasakan sekarang. Aku mau membuatnya menjadi sebuah buku. Persembahan untuk suamiku yang penyabar sepertimu. Andai kau masih di sini, akan ku persembahkan buku itu padamu.
Aku tak menyalahkan takdir. Bapak memang lebih baik ‘pulang’ lebih dulu. Mungkin supaya aku bisa seperti ini. Kuat dan tangguh terhadap ujian apapun. Cantik dengan sendirinya walau sisi liar kadang muncul tak tertahankan. Mulai bisa sabar menghadapi sesuatu, walau tadinya grasa grusu dan lumayan pemarah. Mungkin aku akan bergantung padamu di usiaku kini, jika kau masih hidup. Itu tak baik untuk jiwa ku. Akan mudah rapuh dan melepuh.
Bapak, aku yakin…saat ‘pertemuan kita nanti’, bapak akan tersenyum, mengenaliku di sana. Aku akan memeluk bapak erat sekali, mengajak bapak jalan – jalan di sekitar kebun di surga, membicarakan segala hal yang aku mau, juga mencium kakimu. Surga di telapak kaki ibu, menurutku wangi kaki bapak pun akan membuat segala hal menjadi harum.
Bapak, tidak kah kau dengar? Cucumu yang cantik itu menanyakanmu. Dia mendo’akanmu…
(ditulis oleh @BetaKun)
No comments:
Post a Comment